Load more

Makalah Sejarah Pengumpulan dan Pembukuan Al Quran

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh dan salam sejahtera untuk kita semua, semoga apa yang kita lakukan pada kesempatan kali ini bernilai ibadah disisi Allah swt.

Salawat dan salam kita kirimkan atas junjungan Nabi Muhammad saw yang telah membawa perubahan dari dunia kegelapan menjadi dunia yang terang bercahaya.

Semoga makalah ini bisa bermanfaat untuk kita semua, terutama kepada pemakalah. Namun pemakalah menyadari bahwa karya ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, olehnya itu, jika terdapat hal-hal yang dianggap kurang atau keliru dalam hal penulisan ataupun penyampaian lisan, maka penyusun makalah tidak menutup diri untuk menerima saran ataupun kritik yang sifatnya membangun untuk perbaikan tugas-tugas selanjutnya.

Akhirnya penyusun mengucapkan terima kasih
Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatu


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latarbelakang Masalah

Pada Zaman Rasulullah, Ayat Al-Qur’an tidak dikumpulkan atau dibukunan seperti saat ini. Namun disebabkan beberapa faktor, maka ayat Al-Qur’an mulai dikumpulkan atau dibukukan, yaitu dikumpulkan didalam satu Mushaf.[1] Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Nabi hanya dilakukan pada dua cara yaitu dituliskan melalui benda-benda seperti yang terbuat dari kulit binatang, batu yang tipis dan licin, pelapah kurma, tulang binatang dan lain-lain.[2] Tulisan-tulisan dari benda-benda tersebut dikumpulkan untuk Nabi dan beberapa diantaranya menjadi koleksi pribadi sahabat yang pandai baca tulis. Tulisan-tulisan melalui benda yang berbeda tersebut memang dimiliki oleh Rasulullah namun tidak tersusun sebagaimana mushaf yang sekarang ini. Pemeliharaan ayat-ayat Al-Qur’an juga dilakukan melalui hafalan baik oleh Rasulullah maupun oleh sahabat-sahabat beliau.

Sepeninggalan Nabi pun hanya mewariskan dokument tulisan dari benda-benda sebagaimana tersebut di atas yang kemudian dipindahkan kepada Khalifah Abu Bakar As-Siddiq yang tidak lengkap. Berangkat dari bayaknya sahabat nabi yang tewas dalam peperangan (dikenal dengan perang yamamah) sebagaimana tercatat dalam sejarah bahwa jumlah penghafal Al-Qur’an yang tewas pada peperangan tersebut mecapai 70 orang. Olehnya itu muncul inisiatif dari Umar bin Khattab untuk membukukan Al-Qur’an, lalu disampaikanlah niatnya itu pada Khalifah Abu Bakar. Meskipun tidak langsung disetujui oleh Khalifah Abu Bakar, namun alasan Umar bin Khattab bisa diterima dan dimulailah pengumpulan Al-Qur’an hingga rampung. Dengan demikian, disusunlah kepanitiaan atau Tim penghimpun Al-Qur’an yang terdiri atas Zaid bin Tsabit sebagai ketua dibantu oleh Ubay bin Ka’ab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan para Sahabat lainnya sebagai Anggota.[3] Namun dengan rentan waktu yang panjang, mulai pada tanggal 12 Rabbiul Awwal tahun 11 H/632 M yang ditandai dengan wafatnya Rasulullah, hingga 23-35 H/644-656 M (masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan) atau sekitar 18 tahun setelah wafatnya Nabi barulah dibukukan Al-Qur’an yang dikenal dengan Mushaf Utsmani. Antara rentan waktu yang cukup panjang hingga beragam suku dan dialek apakah berpengaruh atas penyusunan kitab suci Al-Qur’an tentunya masih menjadi tanda tanya.

Sementara pandangan seperti di atas, umat Islam di Seluruh Dunia meyakini bahwa Al-Qur’an seperti yang ada pada kita sekarang ini adalah otentik dari Allah swt. melalui Rasulullah saw, namun cukup menarik, semua riwayat mengatakan bahwa pembukuan kitab suci itu tidak dimulai oleh Rasulullah saw, melainkan oleh para sahabat beliau, dalam hal ini khususnya Abu Bakar, Umar Bin Khattab dan Usman Bin Affan.[4]

Pesan komunikasi yang telah melewati perantara dari seorang tertahap orang lain, terlebih melewati frekuensi jumlah orang yang banyak akan meragukan keabshahan pesan alsi tersebut. Selain itu, rentan waktu yang cukup lama juga amat berpengaruh terhadap nilai dari pesan. Yang menarik adalah seperti apa membuktikan bahwa pesan Al-Qur’an adalah sesuatu yang telah ditetapkan berdasarkan ketetapan Allah!.

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari uraian di atas, maka dapat ditarik suatu permasalahan yaitu mengapa Al-Qur’an baru dibukukan pada masa Khalifah Usman bin Affan yang kemudian dikenal dengan Mushaf Usmani? Dari permasalah di atas, maka dapat dirumuskan sub masalah sebagai berikut.

1. Bagaimana proses kodifikasi Al-Qur’an dibukukan?
2. Atas dasar apa kodifikasi Al-Qur’an dilakukan?


BAB II
PEMBAHASAN


A. Pemeliharaan dan Proses Kodifikasi Al-Qur’an

Al-Qur`an merupakan kumpulan firman yang diberikan Allah sebagai satu kesatuan kitab sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat muslim. Menurut syariat Islam, kitab ini dinyatakan sebagai kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, selalu terjaga dari kesalahan, dan merupakan tuntunan membentuk ketaqwaan manusia.[5] Kumpulan firman (ayat-ayat Al-Qur’an) tersebut juga dikenal dengan Istilah Mushaf atau kumpulan dari suhuf-suhuf atau lembaran-lembaran tertulis yang disatukan.

Sejak awal pewahyuan Al-Qur’an hingga menjadi sebuah mushaf, telah melalui proses panjang. Mulai dari Ayat yang pertama turun sampai ayat yang terakhir turun, benar-benar terjaga kemurniaanya. Upaya untuk menjaga dan memelihara ayat-ayat agar tidak terlupakan atau terhapus dari ingatan terus-menerus dilakukan. Upaya-upaya tersebut dengan cara yang sederhana yaitu Nabi Menghafal Ayat-ayat itu dan menyampaikannya kepada para sahabat yang kemudian juga menghafalnya sesuai dengan yang disampaikan Nabi. Upaya kedua yang dilakukan Umat Islam dalam upaya pemeliharaan Al-Qur’an adalah mencatat atau menuliskannya dengan persetujuan Nabi.[6]

Penguatan dokumen ayat-ayat Al-Qur’an pada masa Nabi dilakukan dengan Naskah-naskah yang dituliskan untuk Nabi atas Perintah Nabi, Naskah-naskah yang ditulis oleh mereka yang pandai menulis dan membaca untuk mereka masing-masing serta hafalan dari mereka yang hafal Al-Qur’an.[7]

Untuk Nabi sendiri, juga menghafal Al-Qur’an dan dipandu langsung oleh Jibril (repetisi) sekali setahun. Diwaktu ulangan itu, Rasulullah disuruh mengulang memperdengarkan Al-Qur’an yag telah diturunkan. Nabi sendiri sering mengadakan ulangan itu terhadap sahabat-sahabatnya, maka sahabat-sahabat itu disuruh oleh beliau membaca Al-Qur’an dihadapan beliau dengan tujuan membetulkan bacaan mereka jika ada yang salah.[8]

Tentang penulisan wahyu pada masa Rasulullah, ada informasi yang cukup ekstensif mengenai bahan-bahan yang digunakan sebagai media untuk menuliskan wahyu yang turun dari langit melalui Muhammad saw. Dalam suatu cacatan, disebutkan bahwa sejumlah bahan yang ketika itu digunakan untuk menyalin wahyu-wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad,[9] yaitu:

1. Riqa, atau lembaran lontar atau perkamen;
2. Likhaf, atau batu tulis berwarna putih, terbuat dari kepingan batu kapur yang terbelah secara horizontal lantaran panas;
3. ‘Asib, atau pelapah kurma, terbuat dari bagian ujung dahan pohon kurma yang tipis;
4. Aktaf, atau tulang belikat, biasanya terbuat dari tulang belikat unta;
5. Adlla’ atau tulang rusuk, biasaya juga terbuat dari tulang rusuk unta;
6. Adim, atau lembaran kulit, terbuat dari kulit binatang asli yang merupakan bahan utama untuk menulis ketika itu.

Melalui data tertulis pada media seperti di atas, salah satu sumber mengatakan bahwa sebelum Mushaf seperti yang kita gunakan sekarang untuk seluruh umat Islam ternyata banyak versi yang hampir susunannya berbeda maupun kronologis turunnya ayat. Secara umum, Mushaf-mushaf tersebut dibagi berdasarkan Mushaf-Mushaf Primer dan Mushaf-mushaf sekunder. Mushaf primer adalah mushaf Independen yang dikumpulkan secara individual oleh sejumlah sahabat nabi sedangkan mushaf sekunder adalah mushaf generasi selanjutnya yang bergantung pada mushaf primer. Mushaf-mushaf tersebu adalah, Mushaf-mushaf primer yang dimiliki oleh Mushaf Salim ibn Ma’qil, Mushaf Umar bin Khattab, Mushaf Ubai bin Ka’ab, Mushaf Ibn Mas’ud, Mushaf Ali bin Abi Thalib, Mushaf Abu Musa al-Asy’ari, Mushaf Hafsah binti Umar, Mushaf Zayd ibn Tsabit, Mushaf Aisyah binti Abu Bakar, Mushaf Ummu Salamah, Mushaf Abd Allah ibn Amr, Mushaf Ibnu Abbas, Mushab ibn Zubayr, Mushaf Ubayd ibn ‘Umair dan Mushaf Anas ibn Malik yang kesemuanya berjumlah 15 versi mushaf. Sementara itu, juga terdapat 13 jumlah mushaf sekunder. Diantara mushaf-mushaf tersebut adalah Mushaf Alqama bin Qais, Mushaf Al-Rabi’ Ibn Khutsaim, Mushaf Al-Haris ibn Suwaid, Mushaf Al-Aswad ibn Yazid, Mushaf Hithan, Mushaf Thalhah ibn Musharrif, Mushaf Al-A’masy, Mushaf Sa’id ibn Jubair, Mushaf Mujahid, Mushaf Ikrimah, Mushaf Atha’ Ibn Abi Rabah, Mushaf Shalih Ibn Kaisan dan Mushaf Ja’far al-Shadiq.[10]

Data yang didapatkan adalah setiap sahabat yang memiliki mushaf ternyata selalu ada perbedaan penempatan urutan surat, kaidah bacaan yang berbeda begitupun catatan tentang kronologis turunnya ayat. Salah satu contoh perbedaan mushaf tersebut adalah Ibn al-Nadim mendaftar jumlah seluruh surat yang ada di mushaf Ibn Mas’ud 110, tetapi yang ditulis dalam al-Fihrist hanya 105 surat. Selain 3 surat di atas, surat al-Hijr, al-Kahfi, Toha, al-Naml, al-Syura, al-Zalzalah tidak disebutkan. Tetapi keenam surat yang akhir ini ditemukan dalam al-Itqan, justru yang tidak ada dalam daftar al-Suyuthi adalah surat Qaf, al-Hadid, al-Haqqah, dan 3 surat yang disebutkan di atas, sehingga menurut daftar al-Suyuthi berjumlah 108 surat. Diduga kuat perbedaan laporan ini kesalahan penulisan belaka, karena keenam surat yang hilang dalam al-Fihrist ditemukan dalam al-Itqan, begitu juga dengan 3 surat yang tidak ada dalam al-Itqan.[11] Contoh lain dapat dilihat pada Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an karya Taufik Adnan Amal yang secara rinci memperlihatkan data-data dalam bentuk tabel dan naratif mengenai perbedaan mushaf tersebut. Pembahasan yang menampilakan uraian tentang mushaf-mushaf yang ada sebelum Mushaf Utsman bin Affan tersebut terletak pada halaman 157 sampai 195.

Lantaran keadaan yang berbeda berdasarkan latarbelakang masing-masing sahabat, termasuk perbedaan suku yang menyebabkan dialeg juga berbeda merupakan salah satu sebab adanya Penyatuan Mushaf. Ditambah faktor-faktor eksternal, misalnya karena banyaknya sahabat-sahabat penghafal yang gugur dalam medan perang. Berangkat dari persoalan tersebut, Umar bin Khattab mengadukan persoalan ini pada Khalifah Abu Bakar. Meskipun pada awalnya ditolak, namun karena usaha yang serius sehingga pada masa itu dibentuk kepanitiaan dalam mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an. Al-Qur’an yang telah dikumpulkan tersebut baru dibukukan pada masa kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan.

B. Pembukuan Al-Qur’an

Sebagaimana telah dibahas di atas bahwa pengumpulan (dalam artian usaha atau upaya pemeliharaan) Al-Qur’an telah dilakukan sejak Nabi Muhammad saw. Media pengumpulan Al-Qur’an dilakukan melalui Tulisan pada beberapa benda berupa batu licin, pelapa kurma, kulit kayu dan lain-lain yang ditulis khusus untuk Nabi. Dokumen yang dikumpulkan tersebut diperkuat oleh beberapa tulisan lain yang dikoleksi oleh sahabat-sahabat Nabi untuk diri mereka sendiri. Disamping itu, hapalan sahabat-sahabat yang dipandu langsung oleh Nabi juga menjadi penguat keabsahan dokumen Al-Qur’an sebagai suatu kitab yang utuh.[12]

Pembukuan Al-Qur’an dilakukan secara tersusun berdasarkan Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas dari Utsman bin Affan bahwa apabila diturunkan kepada Nabi suatu wahyu, ia memanggil sekretaris untuk menuliskannya, kemudian bersabda “letakkanlah ayat ini dalam surat yang menyebutkan begini atau begitu”.[13] Pembukuan Al-Qur’an tersebut tidak disusun berdasarkan kronologis turunnya wahyu.

Upaya pembukuan Al-Qur’an melalui satu versi bacaan untuk seluruh umat Islam dilatar belakangi oleh karena di setiap wilayah terkenal qira’ah sahabat yang mengajarkan Alquran kepada setiap penduduk di wilayah tersebut. Penduduk Syam memakai qira’ah Ubay bin Ka‘b, yang lainnya lagi memakai qira’ah Abu Musa al-Asy’ary. Maka tidak diragukan timbul perbedaan bentuk qira’ah di kalangan mereka, sehingga membawa kepada pertentangan dan perpecahan di antara mereka sendiri. Bahkan terjadi sebagian mereka mengkafirkan sebagian yang lain, disebabkan perbedaan qira’ah tersebut.

Itulah sebabnya Khalifah ‘Utsman kemudian berpikir dan merencanakan untuk mengambil langkah-langkah positif sebelum perbedaan-perbadaan bacaan itu lebih meluas. Usaha awal yang dilakukannya adalah mengumpulkan para sahabat yang alim dan jenius serta mereka yang terkenal pandai memadamkan dan meredakan persengketaan itu. Mereka sepakat menerima instruksi ‘Utsman, yakni membuat Mushaf yang banyak, lalu membagi-bagikannya ke setiap pelosok dan kota, sekaligus memerintahkan pembakaran selain Mushaf itu, sehingga tidak ada lagi celah yang menjerumuskan mereka ke persengketaan dalam bentuk-bentuk qira’ah.

Karena itulah pulalah, ‘Utsman mengirim utusan kepada Hafshah guna meminjam Mushaf yang terwariskan dari ‘Umar. Dari Mushhaf tersebut, lalu dipilihnya tokoh andal dari kalangan senior sahabat untuk memulai rencananya. Pilihannya jatuh kepada Zayd bin Stabit, ‘Abdullah bin Zubayr, Sai‘id bin ‘Ash dan ‘Abdurrahman bin Hisyam mereka dari suku Quraisy, golongan Muhajirin, kecuali Zayd bin Tsabit, ia golongan Anshar. Usaha yang mulia ini berlangsung pada tahun 24 H. Sebelum memulai tugas ini, ‘Utsman berpesan kepada mereka :

إِذَا اِخْتَلَفْتُمْ اَنْتُمْ وَزَيْدٌ بِنْ ثَابِتْ فِى شَيْئٍ، فَكْتُبُوْهُ بِلِسِانِ قُرَيْشٍ، فَإِنَّهُ إِنَّمَا نَزَّلَ بِلِسَانِهِمْ

Terjemahnya : Jika kalian berselisih pendapat dalam qira’ah dengan Zayd bin Stabit, maka hendaklah kalian menuliskannya dengan lughat Quraisy, karena sesungguhnya Alquran diturunkan dengan bahasa mereka.[14]

Setelah memahami pesan di atas, bekerjalah tim ini dengan ekstra hati-hati, yang kemudian melahirkan satu Mushaf yang satu dan dianggap sempuna. Mushhaf ini digandakan dan dikirim ke daerah-daerah untuk disosialsikan kepada masyarakat demi meredam perbedaan bacaan di antara mereka. Sedangkan Mushhaf yang lainnya dibakar, kecuali yang dimiliki Hafshah dikembalikan kepadanya.

Mengenai sistematika surat dalam Al-Qur’an, apakah taqifi atau taufiqi menjadi perdebatan sejak dahulu dan perdebatan tersebut belum berakhir pada saat ini. Pendapat yang pertama, bahwa Al-Qur’an adalah hasil tauqif Nabi artinya susunan atau ututan surat didapat melalui ajaran beliau. Pendapat yang pertama ini berdasarkan ungkapan Ibnu Al-Hasshar yang dikutip dari buku karya Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA. mengatakan “urutan surat dan letak ayat-ayat pada tempatnya itu berdasarkan wahyu”. Rasulullah saw. Letakkan ayat ini pada tempat ini.[15]

Pendapat yang kedua yaitu pandangan yang mengatakan bahwa urutan surat Al-Qur’an adalah berdasarkan Ijtihad sahabat. Pendapat ini disandarkan pada banyaknya mushaf yang dimiliki oleh sahabat yang berbeda, ada yang tertib urutannya seperti mushaf yang dikenal saat sekarang ini, ada pula yang tertibnya berdasarkan kronologis turunnya ayat.[16] Pendapat yang kedua ini juga diperkuat oleh Teks Hadist Mutawatir mengemukakan mengenai turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf.

Sebagai rujukan, Ibnu Abbas Radiallahu Anhuma berkata, sebagaimana dikutif dari karya Syaikh Manna’ Al-Qaththan dengan Judul Pengantar Study Ilmu Al-Qur’an bahwa; Rasulullah saw. Bersabda.[17]

“Jibril membacaka kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku meminta agar huruf itu ditambah, iapun menambahkannya kepadaku hingga tujuh huruf”

Dalam riwayat lain, disebutkan Umar bin Al-Khattab , ia berkata, “Aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca surat al-Furqan dimasa hidup rasulullah. Aku perhatikan bacaannya. Tiba-tiba ia membacanya dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja saya melabraknya saat ia sholat tetapi aku urungkan. Maka aku menunggunya hingga ia selesai sholat. Begitu selesai, aku tarik pakaiannya dan aku katakan kepadanya, “siapakah yang mengajarkan bacaan surat itu kepadamu?” ia menjawab, Rasulullah yang membacakannya kepadaku. Lalu aku katakan kepadanya kamu dusta! Demi Allah, Rasulullah telah membacakannya juga kepadaku surat yang sama, tetapi tidak seperti bacaanmu. Namun ketika masalah ini diperhadapkan kepada Rasulullah saw. Rasulullah membenarkan apa yang dibacakan oleh sahabat berdarakan qiraat yang paling mudah dipahami. Rasulullah saw. Berkata “begitulah surat itu diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu diantaranya”.[18]

Dapatlah dipahami bahwa penulisan teks-teks Alquran pada masa Utsman merupakan masa pembentukan naskah resmi, yang dimaksudkan untuk meredam berbagai kevariasian dalam pembacaannya. Berkat usaha Utsman inilah, Alquran yang terwariskan sampai saat ini biasa pula disebut dengan Mushaf Utsmani.


BAB III
PENUTUP

Sebagai catatan penutup tentang sejarah penumpulan atau kodifikasi al-Qur’an ini, poin penting sebagai jawaban atas permasalahan (Rumusan Masalah) tersebu di atas adalah sebagai berikut:

1. Pengkodifikasian dan penulisan Alquran pada masa Nabi saw terkumpul dalam hapalan dan ingatan, serta catatan yang masih berserakan. Pada masa Abu Bakar, di samping terkumpul dalam hapalan, juga dikumpulkan shahifah-shahifah yang terpisah-pisah. Kemudian pada masa Umar, shahifah-shahifah tersebut ditulis dalam satu mushhaf. Selanjutnya, pada masa ‘Utsman, semua hapalan sahabat dan Mushhaf yang diwariskan oleh Umar, ditata ulang dan dicatat dalam satu dialek qira’ah yang melahirkan suatu Mushhaf disebut dengan Mushhaf Imam.

2. Dapatlah dipahami bahwa penulisan teks-teks Alquran pada masa Utsman merupakan masa pembentukan naskah resmi, yang dimaksudkan untuk meredam berbagai kevariasiaan dalam pembacaannya.

Demikianlah Penyusunan makalah ini disusun, sebagai cacatan penutup bahwa pemakalah menyadari akan banyaknya kekurangan dan kelemahan pada karya tulis ini, olehnya itu pemakalah berharap agar ada kritik, saran atau masukan yang sifatnya membangun untuk perbaikan makalah ini. Ucapan terima kasih kepada Dosen pembimbing mata kuliah Pendekatan dalam Pengkajian Islam serta teman-teman peserta seminar yang telah mengikuti seminar ini dengan serius, terakhir adalah permohonan maaf jika sekiranya apa yang disajikan oleh pemakalah, terdapat kekurangan dan kekeliruan didalamnya.


DAFTAR PUSTAKA


Adnan Amal, Taufik, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Cet. I; Penerbit Forum Kajian Budaya dan Agama, Yogyakarta. Tahun 2001

Al-Qathnhan, Syaikh Manna’. Pengantar Studi Ilu Al-Qur’an, Jakarta; Pustaka Al-Kautsar, Pebruari 2012.

Atang, Abdul Hakim, Methodologi Study Islam, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, PT. Karya Toha Putra; Semarang. 2002.

Ensiklopedia Untuk Anak-anak Muslim, Grasindo

Http://id.wikipedia.org/wiki/Kitab_Allah, Wikipedia – Ensiklopedia Bebas (Kitab Allah), 19 Mei 2012.


Http://Ealah.Blogspot.Com/2008/04/Upaya-Sahabat-Dalam-Pengumpulan-Mushaf.Html Upaya Sahabat Dalam Pengumpulan Mushaf Pribadi Pra-Utsmani, oleh Nashif Ubadah; 19 Mei 2012.

Khalid, H.M. Rusdi, Mengkaji Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Cet I; Alauddin Universiti Press, Makassar 2011

Majid, Nurcholish, Islam Agama Peradaban (Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah), Cet. II; Paramadina, Jakarta. 2000.

Manna’ al-Qaththan Mabahits Fiy ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Mansyurat al-‘Asr al-Hadits, t.th.).

Umar, H. Nasaruddin .Ulumul Qur’an (mengungkap makna-makna tersembunyi Al-Qur’an), Jakarta, Al-Gazali Centre, Juli 2008.

--- CATATAN KAKI ---

[1] Ensiklopedia Untuk Anak-anak Muslim, Grasindo h. 38

[2] Ibid h. 21

[3] Atang Abdul Hakim, Methodologi Study Islam, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, h. 76

[4] NurCholish Majid, Islam Agama Peradaban (Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah), Cet. II; Paramadina, Jakarta. 2000. h. 4

[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Kitab_Allah, Wikipedia – Ensiklopedia Bebas (Kitab Allah), 19 Mei 2012.

[6] H.M. Rusdi Khalid, Mengkaji Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Cet I; Alauddin Universiti Press, Makassar 2011. h. 55

[7] Departemen Agama Republik Indonesia, Muqaddimah Al-Qur’an dan Terjemahnya, PT. Karya Toha Putra; Semarang. 2002. h. 19

[8] Ibid, h. 20

[9] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Cet. I; Penerbit Forum Kajian Budaya dan Agama, Yogyakarta. 2001, h. 151

[10] Taufik Adnan Amal, Op Cit, h. 158-159

[11] Http://Ealah.Blogspot.Com/2008/04/Upaya-Sahabat-Dalam-Pengumpulan-Mushaf.Html Upaya Sahabat Dalam Pengumpulan Mushaf Pribadi Pra-Utsmani, oleh Nashif Ubadah; di download pada tanggal 19 juni 2012 pukul 24.00.

[12] Departemen Agama Republik Indonesia, Op Cit h. 19

[13] aufik Adnan Amal, Op Cit, h. 132

[14] Manna’ al-Qaththan Mabahits Fiy ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Mansyurat al-‘Asr al-Hadits, t.th.), h. 128.

[15] H. Nasaruddin Umar, Ulumul Qur’an (mengungkap makna-makna tersembunyi Al-Qur’an), Jakarta, Al-Gazali Centre, Juli 2008. H. 152

[16] Ibid. h. 153


[17] Syaikh Manna’ Al-Qathnhan, Pengantar Studi Ilu Al-Qur’an, Jakarta; Pustaka Al-Kautsar, Pebruari 2012. H. 195


[18] Ibid h. 196

MAKALAH MATURIDIAH POKOK-POKOK AJARAN DAN GOLONGANNYA

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Apakah maturidiyah? Sengaja pertanyaan ini kami munculkan karena teman-teman mungkin sudah mengerti dengan pertanyaan yang kami ajukan tersebut di atas. Karena kami pandangan aliran Maturidiyah adalah pemecahan islam sehinnga kita harus mengetahui latar belakang timbulnya dan ajarannya

Latar belakang lahirnya aliran Maturidiyah Aliran maturidiyah lahir di Samarkand pertengahan ke-2 dari abad IX M. Pendirinya Adalah Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad Ibn Muhammad Al – Maturidi. Ia sebagai Penganut Abuhanifah sehingga teologinya memiliki banyak persamaan dengan paham – paham yang yang dipegang oleh Abu Hanifah. Ada suatu pendapat yang mengatakan bahwa ada karangan – karangan yang disusun oleh Al – Maturidi, Yaitu Risalah Fi Al – Aqaid dan Syarh Al – Fiqh Al – Akbar. Menurut para ulama' Hanafiah dalam bidang aqidah sama benar dengan pendapat – pendapat imam Abu Hanifah. Sebelum Imam Abu Hanifah menceburkan diri dalam bidang Fiqih dan menjadi tokohnya, beliau telah lama berkecimpung dalam bidang Aqidah serta banyak pula mengatakan tukar pendapat dan perdebatan – perdebatan yang dikehendaki pada masa ZamanNya.

B. PERMASALAHAN

Adapun masalah yang ditinjau dan dianalisis adalah antar lain:
a. Maturidiyah
b. Ajaran maturidiyah
c. Golongan Maturidiyah

C. TUJUAN

Agar kita dapat mengetahu sejarah munculnya maturidiyah dan ajaranya. Sehingga kita dapat mengerti dan paham perkebangan peradapan islam pada zaman dahulu

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Maturidiyah

Berdasarkan buku Pengantar Teologi Islam, aliran Maturidiyah diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad. Di samping itu, dalam buku terjemahan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib menjelaskan bahwa pendiri aliran maturidiyah yakni Abu Manshur al-Maturidi, kemudian namanya dijadikan sebagai nama aliran ini.

Selain itu, definisi dari aliran Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur al-Maturidi yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami Sejalan dengan itu juga, aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi dalam Islam yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidiyah dalam kelompok Ahli Sunnah Wal Jamaah yang merupakan ajaran teknologi yang bercorak rasional.
Latar belakang lahirnya Aliran maturidiyah lahir di samarkand, pertengahan kedua dari abad IX M. pendurinya adalah Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Almaturidi. Riwayatnya tidak banyak diketahui. Ia sebagai pengikut Abu Hanifa sehingga paham teologinya memiliki banyak persamaan dengan paham-paham yang dipegang Abu Hanifa.
Sistem pemikiran aliran maturidiyah, termasuk golongan teologi ahli sunah.

Untuk mengetahui sistem pemikiran Al-maturidi, kita bisa meninggalkan pikiran-pikiran asy’ary dan aliran mu’tasilah, sebab ia tidak lepas dari suasana zamannya.

Maturidiyah dan asy’aryah sering terjadi persamaan pendapat karena persamaan lawan yang dihadapinya yaitu mu’tazilah. Namun, perbedaan dan persamaannya masih ada.

Al-Maturidi dalam pemikiran teologinya banyak menggunakan rasio. Hal ini mungkin banyak dipengaruhi oleh Abu Hanifa karena Al-maturidi sebagai pengikat Abu Hanifa. Dan timbulnya aliran ini sebagai reaksi terhadap mu’tazilah.

B. Pokok-Pokok Ajaran Maturidiyah

1. Kewajin mengetahui tuhan. 

Akal semata-mata sanggup mengetahui tuhan. Namun itu tidak sanggup dengan sendirinya hukum-hukum takliti (perintah-perintah Allah SWT)
Mengenai sifat-sifat Allah Swt.

Mengenai sifat-sifat Allah Swt., aliran Asy’ariyah mengatakan sifat-sifat Allah Swt. itu merupakan sesuatu yang berada di luar Dzat. Mereka juga menetapkan adanya qudrah, iradah,’ ilm, bayah, sama’, basher dan kalam pada Dzat Allah Swt. Kata mereka, semua itu merupakan sesuatu di luar Dzat-Nya. Mu’tazilah mengatakan bahwa tidak ada sesuatu di luar Dzat-Nya. Adapun yang disebutkan dalam Al-Qur’an, seperti: ’Alim (Maha mengetahui), Khabir (Maha mengenal), Hakim (Maha bijaksana), Bashir (Maha melihat), merupakan nama-nama bagi Dzat Allah Swt. Kemudian al-Maturidi menetapkan sifat-sifat itu bagi Allah Swt., tetapi ia mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu di luar Dzat-Nya, bukan pula sifat-sifat yang berdiri pada Dzat-Nya dan tidak pula terpisah dari Dzat-Nya. Sebagaimana ayat Al quran ini yang Artinya:

”Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS. Al-Jaatsiyah, 45: 13)

2. Kebaikan dan kerburukan dapat diketahui dengan akal

3. Hikmah dan tujuan perbuatan tuhan

Perbuatan tuhan mengandung kebijaksanaan (hikmah). Baik dalam cipta-ciptaannya maupun perintah dan larang-larangannya, perbuatan manusia bukanlah merupakan paksaan dari Allah, karena itu tidak bisa dikatakan wajib, karena kewajiban itu mengandung suatu perlawanan dengan iradahnya.

C. Golongan Maturidiyah

Berdasarkan beberapa referensi yang kami peroleh, aliran Maturidiyah dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu:

Golongan Samarkand

Yang menjadi golongan ini adalah pengikut-pengikut Al-Maturidi sendiri. Golongan ini cenderung ke arah faham Asy’ariyah, sebagaimana pendapatnya tentang sifat-sifat Tuhan. Dalam hal perbuatan manusia, maturidi sependapat dengan Mu’tazilah, bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatannya. Al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu diantara pemahamannya yaitu :

Mengenai Perbuatan Allah

Aliran Maturidiyah Samarkad, yang juga memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, pendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya menyangkut hal-hal yang baik saja. Demikian juga pengiriman rasul dipandang Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan

Mengenai Perbuatan Manusia

Kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya dan bukan dalam arti kiasan, maksudnya daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Sedangkan Maturidiyah Bukharah memberikan tambahan dalam masalah daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanya Tuhanlah yang dapat mencipta, dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan bagi-Nya

Mengenai Sifat-Sifat Tuhan

Mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan, tetapi tidak lain dari Tuhan. Dalam menghadapi ayat-ayat yang memberi gambaran Tuhan bersifat dengan menghadapi jasmani ini. Al-Maturidi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tangan, muka, mata, dan kaki adalah kekuasaan Tuhan

Golongan Bukhara

Golongan ini dipimpin oleh Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia merupakan pengikut Maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Nenek Al-Bazdawi menjadi salah satu murid Maturidi. Jadi yang dimaksud dengan golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi dalam aliran Al-Maturidiyah. Walaupun sebagai pengikut aliran ­Al-Maturidiyah, AL-Bazdawi selalu sefaham dengan Maturidi. Ajaran teologinya banyak dianut oleh umat islam yang bermazhab Hanafi. Dan hingga saat ini pemikiran-pemikiran Al-Maturidiyah masih hidup dan berkembang di kalangan umat Islam.

Diantara pemahamannya yaitu :

Mengenai Perbuatan Allah

Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana yang dijelaskan oleh Bazdawi, Tuhan pasti menempati janji-Nya, seperti memberi upah kepada orang yang berbuat baik, walaupun Tuhan mungkin saja membatalkan ancaman bagi orang yang berdosa besar. Adapun pandangan Maturidiyah Bukhara tentang pengiriman rasul, sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja

Mengenai Perbuatan Manusia

Sedangkan golongan Samarkand mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan, tetapi tidak lain dari Tuhan. Dalam menghadapi ayat-ayat yang memberi gambaran Tuhan bersifat dengan menghadapi jasmani ini. Al-Maturidi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tangan, muka, mata, dan kaki adalah kekuasaan Tuhan

Mengenai Sifat-Sifat Tuhan

Kehendak mutlak Tuhan, menurut Maturidiyah Samarkand, dibatasi oleh keadilan Tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatannya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. Adapun Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya. Tidak ada yang menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan

BAB IV

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Latar belakang lahirnya Aliran maturidiyah lahir di samarkand, pertengahan kedua dari abad IX M. pendurinya adalah Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Almaturidi. Riwayatnya tidak banyak diketahui. Ia sebagai pengikut Abu Hanifa sehingga paham teologinya memiliki banyak persamaan dengan paham-paham yang dipegang Abu Hanifa.

Sistem pemikiran aliran maturidiyah, termasuk golongan teologi ahli sunah.

Untuk mengetahui sistem pemikiran Al-maturidi, kita bisa meninggalkan pikiran-pikiran asy’ary dan aliran mu’tasilah, sebab ia tidak lepas dari suasana zamannya.
1. Kewajin mengetahui tuhan. Akal semata-mata sanggup mengetahui tuhan. Namun itu tidak sanggup dengan sendirinya hukum-hukum takliti (perintah-perintah Allah SWT)
2. Kebaikan dan kerburukan dapat diketahui dengan akal
3. Hikmah dan tujuan perbuatan tuhan

Perbuatan tuhan mengandung kebijaksanaan (hikmah). Baik dalam cipta-ciptaannya maupun perintah dan larang-larangannya, perbuatan manusia bukanlah merupakan paksaan dari Allah, karena itu tidak bisa dikatakan wajib, karena kewajiban itu mengandung suatu perlawanan dengan iradahnya.

Berdasarkan beberapa referensi yang kami peroleh, aliran Maturidiyah dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu:

Golongan Samarkand

Yang menjadi golongan ini adalah pengikut-pengikut Al-Maturidi sendiri. Golongan ini cenderung ke arah faham Asy’ariyah, sebagaimana pendapatnya tentang sifat-sifat Tuhan. Dalam hal perbuatan manusia, maturidi sependapat dengan Mu’tazilah, bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatannya. Al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu

Golongan Bukhara

Golongan ini dipimpin oleh Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia merupakan pengikut Maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Nenek Al-Bazdawi menjadi salah satu murid Maturidi. Jadi yang dimaksud dengan golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi dalam aliran Al-Maturidiyah. Walaupun sebagai pengikut aliran ­Al-Maturidiyah, AL-Bazdawi selalu sefaham dengan Maturidi. Ajaran teologinya banyak dianut oleh umat islam yang bermazhab Hanafi. Dan hingga saat ini pemikiran-pemikiran Al-Maturidiyah masih hidup dan berkembang di kalangan umat Islam.

DAFTAR PUSTAKA

- Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru Jakarta, 2003)
- Harun Nasution, Teoli Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI-Press, 1986), h. 76
- Departemen Agama Republik Indonesia, Op. Cit., h.

SUMBER DAYA MANUSIA DAN MANAJEMEN PENGEMBANGAN DAKWAH

Sumber Daya Pelaksana Dakwah
Sumber daya manusia merupakan aset organisasi yang sangat vital karena itu keberadaannya dalam organisasi tidak bisa digantikan oleh sumber daya lainnya. Betapapun modern teknologi yang digunakan atau seberapa banyak dana yang disiapkan, namun tanpa dukungan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan profesional, semuanya menjadi tidak bermakna.[1]

Tidak dapat disangkal bahwa tenaga manusia atau sumber daya insani merupakan sumber terpenting yang dimiliki oleh suatu organisasi. Karena sifatnya sebagai sumber yang terpenting, logis apabila dalam rangka peningkatan efesiensi kerja, perhatian utama ditujukan pula kepada sumber ini, sorotan perhatian tidak boleh hanya ditujukan kepada pemanafaatannya secara maksimal, akan tetapi juga pengembangannya, perlakuannya dan estafet penggantiannya.[2]

Sumber daya manusia merupakan aset organisasi yang sangat vital karena itu keberadaannya dalam organisasi tidak bisa digantikan oleh sumber daya lainnya. Betapapun modern teknologi yang digunakan atau seberapa banyak dana yang disiapkan, namun tanpa dukungan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan profesional, semuanya menjadi tidak bermakna.[1]

Tidak dapat disangkal bahwa tenaga manusia atau sumber daya insani merupakan sumber terpenting yang dimiliki oleh suatu organisasi. Karena sifatnya sebagai sumber yang terpenting, logis apabila dalam rangka peningkatan efesiensi kerja, perhatian utama ditujukan pula kepada sumber ini, sorotan perhatian tidak boleh hanya ditujukan kepada pemanafaatannya secara maksimal, akan tetapi juga pengembangannya, perlakuannya dan estafet penggantiannya.[2]

Modal yang dimiliki oleh organisasi, hanya akan semakin besar dan berkembanag apabila dikelola secara tepat. Pengolaan yang tepat hanya mungkin dilakukan oleh manusia yang tidak saja ahli dan trampil pada bidangnya masing-masing, akan tetapi juga memenuhi berbagai persyaratan non teknikal lainnya seperti loyalitas, disiplin dan organisasional, dedikasi, kesediaan membawakan kepentingan peribadi kepada kepentingan yang lebih luas, yaitu kepentingn bersama antara lain tercermin dalam kepentingan kelompok dan kepentingan organisasai. Mesin yang paling canggih sekalipun hanya merupakan tumpukan benda mati apabila tidak dipergunakan atau dijalankan oleh manusia, suatu mesin yang otomatik hanya berfungsi setelah pada mulanya dihidupkan oleh manusia dan hanya bekerja berdasarkan intruksi yang diberikan oleh manusia.[3]

Walaupun demikian, sumber daya manusia tidak akan menjadi lebih unggul atau aset yang menjadi faktor penentu keberhasilan organisasi tampa digerakkan agar lebih berdaya guna.

Menurut Sondang P. Siagian, bahwa menggerakan sumber daya manusia salah satu hal yang sulit untuk dilaksanakan, kesulitan tersebut disebabkan oleh lima faktor yaitu:

1. Dengan berbagai kemajuan yang telah dicapai dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari manusia seperti sejarah, ilmu politik. Ilmu ekonomi, ilmu sosiologi, antropologi dan psikologi dalam usaha akumulasi teori tentang seluk beluk manusia, ia tetap merupakan makhluk yang masih penuh dengan misteri sehingga dapat dikatakan bahawa lebih banyak yang belum diketahui ketimbang yang sudah terungkap tentang manusia.

2. Dari semua sumber yang dimiliki oleh suatu organisasi hanya man usialah yang mempunyai harkat dan martabat yang tidak hanya perlu diakui, akan tetapi juga dihargai dan bahkan harus dijunjung tinggi. Penghargaan dan pengakuan akan harkat dan martabat tersebut memang harus dubarengi oleh penunaian kewajiban olehh para anggota organisasi yang bersangkutan.

3. Semua sumber daya dan dana yang terdapat dalam organisasi pada dirinya hanya merupakan benda mati yang secara interinsik tidak mempunyai nilai apa-apa. Berbagai sumber tersebut hanya mempunyai arti dalam usaha pencapaian tujuan apabila dimobilisasikan dan dimanfaatkan oleh manusia secara tepat .

4. Sumber daya manusia merupakan modal terpenting yang mungkin dimiliki oleh organisasi dan merupakan unsur pembangunan organisasi yang sangat tangguh apabila digerakkan secara tepat.

5. Sebaliknya sumber daya manusia pulalah yang mungkin menjadi perusak dalam organisasi apabila tidak diperlakukan sebagai insan dengan harga diri yang tinggi. [4]

Menurut Soekidjo Notoadmodjo bahwa tujuan dari manajemen suber daya manusia secara operasional adalah:

1. Tujuan masyarakat (society objective)

Diorientasikan untuk bertanggung jawab secara social, dalam hal ini pemenuhan kebutuhan serta tantangan yang timbul di masyarakat. Suatu orientasi yang tumbuh dan berkembang ditengah-tengah masyarakat, diharapkan membawa manfaat bagi masyarakat. Oleh karena, suatu organisasi memiliki tnggung jawab dalam mengelola sumber daya manusia agar tidak memiliki dampak negative di masyarakat.

2. Tujuan organisasi (organization objective)

Diorientadsikan untuk mengenal bahwa sumber daya manusia itu ada (exsist), maka perlu memberikan kontribusi terhadap pendaya gunaan organisasi secara keseluruhan. Karena manajemen sumber daya manusia suatu tujuan dan akhir suatu proses, melainkan suatu perangkat atau alat untuk membantu tercapainya suatu tujuan organisasi secara keseluruhan. Oleh sebab itu, unit atau bagian sumber daya manusia disuatu organisasi diadakan untuk melayani bagian-bagian lain oraganisasi tersebut.

3. Tujuan fungsi (functional objective)

Diorientasikan untuk memelihara (maintain) kontribusi unit bagian lain agar sumber daya manusia dalam tiap bagian tersebut, melaksanakan tugasnya secara optimal. Dengan kata lain, bahwa setiap elemen sumber daya manusia dalam oraganisasi tersebut, menjalankan fungsinya dengan baik.

4. Tujuan personel (personnel objective)

Diorientasikan untuk membantu karyawan satu elemen dalam mencapai tujuan oraganisasi. Tujuan pribadi atau personal haruslah terpenuhi. Hal itu sudah merupakan motivasi dan pemeliharaan terhadap karyawan.[5]

Demikian halnya dalam arena dakwah sebagai suatu organisasi atau aktivitas kemanusiaan yang bertujuan untuk merubah sesuatu situasi ke yang lebih baik, dalam rangka kesejahteraan dan kebahagiaan manusia, maka diperlukan sumber daya manusia yang sesuai dengan tingkat kebutuhannya sebagai sebuah organisasi.

Menurut Syafaat Habib bahwa Sarana dakwah karenanya harus dilengkapi dengan manusia-manusia yang mampu menangani masalah-masalah sosial, karena arah yang dituju adalah perubahan-perubahan sosial yang lebih baik, mereka seharusnya memiliki siifat-sifat unggul manusia:

1. Sebagai “pemimpin”, mempunyai sifat lebih, ahli dalam bidangnya, bertaqwa , berjiwa patriotis, terlatih dalam masalah-masalah sekuler maupun masalah agama.

2. Sebagai manusia terkemuka yang diperlengkapi dengan baik, baik dalam hal ilmu pengetahuan yang luas, maupun alat-alat dan methode.

3. Sebagai pemuka digaris depan yang berkekuatan dan mampu memberikan energi kepadda sekitarnya, dengan pembangunan moralitas dan nilai-nilai kehidupan manusia lainnya.

4. Sebagai “penuntun” yang mampu meletakkan sesuatu yang “pertama” pada yang “pertama”, menghilangkan keraguan dalam tingkah laku dan sikap pengikutnya dan mampu memberikan bimbingan ketegasan.

5. Sebagai aturan yang selalu menekankan nilai-nilai budi pekerti yangtinggi atau makarimul akhlak.

6. Sebagain sumber yang selalu dapat menyediakan cara terbaik dalam membina kerja-sama antar ummat manusia, dengan kemampuan menunjukkan cara-caranya.

7. Sebagai kompas dan lidstar atau bintang penuntun yang dinamis bagi khalayak umum. Dan lain-lain sifat unggul yang perlu dimiliki seorang manusia, hamba tuhan yang baik.[6]

Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Asep.M dan Agus. bahwa usaha pengembangan sumber daya da’i berkaitan dengan upaya pembinaan dan peningkatan kualitas sumber daya da’i yang meliputi pemberdayaan da’i dalam pola pikir, wawasan dan keterampilan sebagai berikut:

Modal yang dimiliki oleh organisasi, hanya akan semakin besar dan berkembanag apabila dikelola secara tepat. Pengolaan yang tepat hanya mungkin dilakukan oleh manusia yang tidak saja ahli dan trampil pada bidangnya masing-masing, akan tetapi juga memenuhi berbagai persyaratan non teknikal lainnya seperti loyalitas, disiplin dan organisasional, dedikasi, kesediaan membawakan kepentingan peribadi kepada kepentingan yang lebih luas, yaitu kepentingn bersama antara lain tercermin dalam kepentingan kelompok dan kepentingan organisasai. Mesin yang paling canggih sekalipun hanya merupakan tumpukan benda mati apabila tidak dipergunakan atau dijalankan oleh manusia, suatu mesin yang otomatik hanya berfungsi setelah pada mulanya dihidupkan oleh manusia dan hanya bekerja berdasarkan intruksi yang diberikan oleh manusia.[3]

Walaupun demikian, sumber daya manusia tidak akan menjadi lebih unggul atau aset yang menjadi faktor penentu keberhasilan organisasi tampa digerakkan agar lebih berdaya guna.

Menurut Sondang P. Siagian, bahwa menggerakan sumber daya manusia salah satu hal yang sulit untuk dilaksanakan, kesulitan tersebut disebabkan oleh lima faktor yaitu:

1. Dengan berbagai kemajuan yang telah dicapai dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari manusia seperti sejarah, ilmu politik. Ilmu ekonomi, ilmu sosiologi, antropologi dan psikologi dalam usaha akumulasi teori tentang seluk beluk manusia, ia tetap merupakan makhluk yang masih penuh dengan misteri sehingga dapat dikatakan bahawa lebih banyak yang belum diketahui ketimbang yang sudah terungkap tentang manusia.

2. Dari semua sumber yang dimiliki oleh suatu organisasi hanya man usialah yang mempunyai harkat dan martabat yang tidak hanya perlu diakui, akan tetapi juga dihargai dan bahkan harus dijunjung tinggi. Penghargaan dan pengakuan akan harkat dan martabat tersebut memang harus dubarengi oleh penunaian kewajiban olehh para anggota organisasi yang bersangkutan.

3. Semua sumber daya dan dana yang terdapat dalam organisasi pada dirinya hanya merupakan benda mati yang secara interinsik tidak mempunyai nilai apa-apa. Berbagai sumber tersebut hanya mempunyai arti dalam usaha pencapaian tujuan apabila dimobilisasikan dan dimanfaatkan oleh manusia secara tepat .

4. Sumber daya manusia merupakan modal terpenting yang mungkin dimiliki oleh organisasi dan merupakan unsur pembangunan organisasi yang sangat tangguh apabila digerakkan secara tepat.

5. Sebaliknya sumber daya manusia pulalah yang mungkin menjadi perusak dalam organisasi apabila tidak diperlakukan sebagai insan dengan harga diri yang tinggi. [4]

Menurut Soekidjo Notoadmodjo bahwa tujuan dari manajemen suber daya manusia secara operasional adalah:

1. Tujuan masyarakat (society objective)

Diorientasikan untuk bertanggung jawab secara social, dalam hal ini pemenuhan kebutuhan serta tantangan yang timbul di masyarakat. Suatu orientasi yang tumbuh dan berkembang ditengah-tengah masyarakat, diharapkan membawa manfaat bagi masyarakat. Oleh karena, suatu organisasi memiliki tnggung jawab dalam mengelola sumber daya manusia agar tidak memiliki dampak negative di masyarakat.

2. Tujuan organisasi (organization objective)

Diorientadsikan untuk mengenal bahwa sumber daya manusia itu ada (exsist), maka perlu memberikan kontribusi terhadap pendaya gunaan organisasi secara keseluruhan. Karena manajemen sumber daya manusia suatu tujuan dan akhir suatu proses, melainkan suatu perangkat atau alat untuk membantu tercapainya suatu tujuan organisasi secara keseluruhan. Oleh sebab itu, unit atau bagian sumber daya manusia disuatu organisasi diadakan untuk melayani bagian-bagian lain oraganisasi tersebut.

3. Tujuan fungsi (functional objective)

Diorientasikan untuk memelihara (maintain) kontribusi unit bagian lain agar sumber daya manusia dalam tiap bagian tersebut, melaksanakan tugasnya secara optimal. Dengan kata lain, bahwa setiap elemen sumber daya manusia dalam oraganisasi tersebut, menjalankan fungsinya dengan baik.

4. Tujuan personel (personnel objective)

Diorientasikan untuk membantu karyawan satu elemen dalam mencapai tujuan oraganisasi. Tujuan pribadi atau personal haruslah terpenuhi. Hal itu sudah merupakan motivasi dan pemeliharaan terhadap karyawan.[5]

Demikian halnya dalam arena dakwah sebagai suatu organisasi atau aktivitas kemanusiaan yang bertujuan untuk merubah sesuatu situasi ke yang lebih baik, dalam rangka kesejahteraan dan kebahagiaan manusia, maka diperlukan sumber daya manusia yang sesuai dengan tingkat kebutuhannya sebagai sebuah organisasi.

Menurut Syafaat Habib bahwa Sarana dakwah karenanya harus dilengkapi dengan manusia-manusia yang mampu menangani masalah-masalah sosial, karena arah yang dituju adalah perubahan-perubahan sosial yang lebih baik, mereka seharusnya memiliki siifat-sifat unggul manusia:

1. Sebagai “pemimpin”, mempunyai sifat lebih, ahli dalam bidangnya, bertaqwa , berjiwa patriotis, terlatih dalam masalah-masalah sekuler maupun masalah agama.

2. Sebagai manusia terkemuka yang diperlengkapi dengan baik, baik dalam hal ilmu pengetahuan yang luas, maupun alat-alat dan methode.

3. Sebagai pemuka digaris depan yang berkekuatan dan mampu memberikan energi kepadda sekitarnya, dengan pembangunan moralitas dan nilai-nilai kehidupan manusia lainnya.

4. Sebagai “penuntun” yang mampu meletakkan sesuatu yang “pertama” pada yang “pertama”, menghilangkan keraguan dalam tingkah laku dan sikap pengikutnya dan mampu memberikan bimbingan ketegasan.

5. Sebagai aturan yang selalu menekankan nilai-nilai budi pekerti yangtinggi atau makarimul akhlak.

6. Sebagain sumber yang selalu dapat menyediakan cara terbaik dalam membina kerja-sama antar ummat manusia, dengan kemampuan menunjukkan cara-caranya.

7. Sebagai kompas dan lidstar atau bintang penuntun yang dinamis bagi khalayak umum. Dan lain-lain sifat unggul yang perlu dimiliki seorang manusia, hamba tuhan yang baik.[6]

Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Asep.M dan Agus. bahwa usaha pengembangan sumber daya da’i berkaitan dengan upaya pembinaan dan peningkatan kualitas sumber daya da’i yang meliputi pemberdayaan da’i dalam pola pikir, wawasan dan keterampilan sebagai berikut:

1. Peningkatan wawasan intelektual dan kreatifitas da’i dalam keilmuan dan keterampilan yang relefen.
2. Peningkatan wawasan pengalaman yang spiritual da’i yang direfleksikan dalam kematangan sikap mental, kewibawaan, dan akhlak al-karima.
3. Peningkatan wawasan tentang ajaran Islam secara kaffah dan integral.
4. Peningkatan wawasan tentang kebangsaan, kemasyarakatan dan hubungan intern serta ekstern umat beragama sehingga tercermin sikap toleran.
5. Peningkatan wawasan global dan ukhuah islamiah
6. Peningkatan wawasan integritas, persatuan, dan kesatuan (wahdah al-ummah)
7. Peningkatan wawasan tentang peta wilayah dakwah regional, nasional, dan internasional.
8. Peningkatan wawasan tentang kepemimpinan dalam membangun masyarakat.[7]

Para muballigh perlu ditingkatkan kualitasnya, peran dan fungsi mereka pada masa sekarang ini semakin berat. Dalam kaitan ini paling kurang terdapat sembilan hal penting yang harus dilakukan dan diperankan oleh muballigh sebagai berikut:

pertama, para muballigh sebagai pengawal akhlak (moral) bangsa. Sejarah telah mencatat bahwa kelangsungan hidup suatu bangsa ditentukan oleh tinggi rendahnya akhlak (moral) bangsa yang bersangkutan. Kedua, para muballigh sebagai penafsir jalan kehidupan umat manusia. Ini artinya, para muballigh pada dasarnya adalah pekerja-pekerja budaya yang selalul berupaya agar suatu kebudayaan bekembang mencapai bentuknya yang lebih beradap sesuai dengan tuntutan zaman.hal ini dapat menyebabkan wajah islamnya tidak utuh. Ketiga, para muballigh sebagai informator dan penerang masyarakat. Masyarakat amat haus terhadap informasi, petunjuk dan penerangan dari para muballigh. Informasi, petunjukk dan penerangan disampaikan oleh muballigh aka lebih diterima oleh masyarakat daripada infformasi, petunjuk dan penerangan yang disampaikan oleh pihak lain. Namun demikian agar informasi, petunjuk dan penerangan yang disampaikan itu tidak menyesatkan masyarakat, maka para muballigh harus melengkapi dirinya dengan data yang akurat dan dapat dipercaya. Data dan informasi tersebut, biasanya terdapat pada saluran teknologi informasi seperti internet, faksimile, dan berbagai mass media lainnya. Untuk itu para muballigh juga harus mampu menggunakan berbagai peralatan teknologi informasi tersebut, sehingga mampu mengakses berbagai informasi dari seluruh penjuru dunia. Keempat, para muballigh sebagai agen perubahan sosial (agent of socialc henge) yang ada didalamnya termasuk melakukan pembaharuan pemikiran Islam. Munculnya keinginan untuk melakukan pembahaaruan terhadap ajaran Islam dalm bidang Fikhi dan teologi mesalnya didasari oleh pertimbangn yang bersifat internal dan eksternal. Kelima, para muballigh berparan dalam mengarahkan pandangan ke-Islaman masyarakat. Dewasa ini banyak sekali corak pemikiran faham ke-Islaman di Indonesia, seperti Islam fundamental, Islam teologis-Normatif, Islam Eksklusif, Islam Rasional, Islam Transformatif, Islam Aktual Islam Modernis, Islam Kultural serta Islam Inklusif-Pluralis. Seluruh corak pemikiran Islam tidak keluar dari Islam karena berpedoman pada Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Menghadapi berbagai corak pemikiran Islam tersebut cara yang ditempuh adalah bukan mempertentangkan antara satu dan yang lain nya, atau membenarkan yang satu dan menyalahkan yang lainnya. Cara yang bijaksana adalah dengan menunjukkan segi-segi positif dari berbagai corak pemikiran Islam tersebut, menghubungkan antara satu dan yang lainnya, serta meningkatkan segi-segi yang tidak sejalan dengan cita-cita islam. Keenam, para muballigh berperan dalam mewujudkan cita-cita islam dalam berbagi bidang kehidupan. Dalam bidang sosial, islam mencita-citakan suatu msyarakat yang egaliter, yaitu masyarakat yang didasarkan pada prinsip kesetaraan dan kesederajatan. Atas dasar ini kedudukan dan kehormatan manusia dihadapan tuhan dan manusia lainnya, bukan didasarkan atas perbedaan suku bangsa, golongan, bahasa, warna kulit, pangkat, keturunan, harta benda, tempat tinggal dan lain-lain sebagainya, melainkan didasarkan atas ketakwaan dan darma baktinya kepada masyarakat. Ketujuh, para muballigh berperan dalam menanamkan keimanan dan ketakwaan dalam arti yang sesungguhnya. Yaitu akan adanya Allah swt sebagai Tuhan yang wajib disembah yang diikuti dengan kesadaran untuk melaksanakan segala perintahnya dan menjauhi larangannya. Keimanan dan ketakwaan yang demikian itu benar-benar tertanam dalam hati dan terimplementasikan dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Keimanan dalam hati diupayakan berperan seperti polisi rahasia yang selalu mengawasi gerak gerik perbuatan manusia. Dengan cara demikian ia selalu merasa diawasi oleh Allah, dan pada akhirnya ia tidak berani melakukan perbuatan yagn dilarang oleh Allah dan Rasulnya. Kedelapan , para muballigh berperan sebagai pemimpin masyarakat. Sejarah mencatat bahwa pertumbuhan dan perkembangan kota Jakarta sejak bernama Sunda Kelapa dan berada di bawah pengaruh Portugis pada tahun1913 hingga berubah menjadi Jakarta pada tanggal 22 Juni 1572 tidak bisa dilepaskan dari peran para muballigh.[8]

Dengan memperhatikan peran yang harus dilakukan para muballigh (da’i) tersebut maka terasa perlu peningkatan kualitas. Hal ini penting dilakukan mengingat peran yang harus dimainkan para muballigh (da’i) tersebut semakin hari semakin berat, rumit an penuh tantangan dan rintangan, seirama dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, arus komunikasi dan informasi yang begitu dahsyat, membuat perubahan yang juga semakin cepat.

Pengembangan/Pelaksanaan Kegiatan Dakwah.

Peningkatan dan penyempurnaan terhadap proses dakwah dilakukan setelah diadakan penelitian dan penilaian terhadap jalannya proses dakwah secara menyeluruh setelah suatu proses usaha selesai. Artinya, apabila dalam contoh yang lalu rencana dakwah ditetapkan untuk jangka waktu lima tahun, maka pada jangka waktu tersebut, pimpinan dakwah perlu mengadakan penelitian dan penilaian secara menyeluruh terhadap jalannya proses dakwah. Melalui penelitian dan penilaian itu dapatlah dketahui kelemahan-kelemahan yang ada, penyimpangan-penyimpangan yang telah terjadi dan yang lebih penting lagi adalah diketahui faktor-faktor yang menjadi sebab terjadinya kelemahan dan penyimpangan tersebut.

Dengan data yang diperoleh, pimpinan dakwah dapat mengadakan penyempurnaan. Sehingga untuk proses dakwah pada tahapan berikutnya, tidak akan terulang lagi timbulnya kelemahan dan penyimpangan sebagaimana telah dialami oleh proses dakwah yang baru saja selesasi. Dengan begitu, maka proses dakwah semakin lama semakin maju dan sempurna.

Atas dasar inilah maka penilaian itu harus ditujukan pada fungsi-fungsi manajemen lainnya. Ia harus menjawab mengapa rencana yang telah ditetapkan tidak dapat dilaksanakan; mengapa organisasi yang telah disusun tidak dapat menjamin tercapainya tujuan; mengapa para pelaksana tidak dapat melakukan tugasnya dengan baik, dan sebagainya.

Dari jawaban pertanyaan-pertanyaan yang diajukan itu, dapatlah dilakukan perbaikan-perbaikan, perubahan-perubahan ke arah penyempurnaan dalam arti menyeluruh.

Suatu hal yang sangat ideal adalah bilamana dalam setiap perencanaan untuk setiap tahapan atau jangka waktu tertentu terlihat adanya peningkatan dan penyempurnaan, melebihi waktu-waktu yang sudah. [9]

Hal tersebut sangat penting menjadi fokus perhatian sebab kondisi masyarakat yang menjadi obyek dakwah mengalami perubahan, akibat karena era globalisasi, informasi, dan kemauan teknologi.

Menurut Tholhah Hasan bahwa, Kenyataan perubahan social yang terjadi dewasa ini, lain sifatnya dengan perubahan social yang pernah terjadi dalam masyarakat yang selama ini. Ciri yang menonjol dari perubahan yang terjadi adalah pengaruh yang kuat, cepat dan radikal oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, diawali oleh penemuan-penemuan baru (discovery) dalam Iptek, dilanjutkan dengan perekayasaan berbagai macam bidang Iptek (invention), seperti computer, biotek, teknologi angkasa luar, dan lain-lain. Kemudian dilanjutkan dengan langkah-langkah pengembangan dan pengunggulan (innovation). Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjadi penggerak perubahan hampir dalam semua sector kehidupan, dari yang bersifat fisikal, seperti konstruksi, transportasi, mekanik dan lain-lain sebagainya, sampai yang bersifat mental seperti orientasi, paradigma, etika dan agama.[10]

Terhadap masalah yang dihadapi, yang berkembang di masyarakat, akibat makin majunya suatu masyarakat, semakin beraneka problema yang dihadapi dan dipersoalkan. Oleh karena demkian, menurut Syafaat Habib bahwa dinamika pengembangan dan penelitian perlu terus ditingkatkan, dengan cara:

a. Mencatat dalam tebel secara kronologis dan historis semua jenis persoalan yang pernah dihadapi dengan segala jawaban yang diberikan dan reaksi-reaksi penerima. Dari sana biasa diketemukan cara baru untuk dikembangkan.

b. Perlu selalu dicara jalan untuk menemukan pengembangan dakwah yang lebih cepat yang lebih praktis, baik dalam penyampaian, materi, cara dan lain sebagainya.

c. Perlu juga cara klasifikasi masalah yang dihadapi dan cara pemecahannya. Klasifikasi ini akan membantu menemukan cara yang lebih baik bagi system yang akan dilakukan di kemudian hari. Misalnya mengadakan pengelompokkan masalah ubudiyah, masalah ijtima-iyah, masalah remaja dan lain sebagainya.

d. Mecari keluhan-keluhan masyarakat yang bisa dicarikan pemecahannya melalui ajaran dakwah, agar manusia dapat mengatasi keluhan diri tersebut.

e. Menemukan situasi-situasi yang abnormal dalam masyarakat, kemudian mencari pemesahannya melalui dakwah. Jika perlu mengadakan penelitian terhadap background keadaan yang tidak normal itu, apakah yan menjadi penyebabnya, misalnya bagaimana dakwah menghadapi masalah kenakalan remaja, mengahadapi issue “abortus yang berkembang dalam masyarakat”, menghadapi “keluarga berencana sebagai keharusan warga Negara dan lain-lain sebagainya.

f. Mengadakan analisa secara kualitatif dan kuantitatif, untuk menemukan jawaban apakah sebenarnya problema tertentu yang berkembang dalam masyarakat itu. Dengan analisa yang tepat maka dakwah harus menemukan jawaban terhadap problem yang mungkin oleh masyarakat sendiri masih tanda tanya besar. Misalnya soal “rente bank”.

g. Apabila terjadi suatu kejadian, yang oleh umum dianggap benar, padahal menurut pandangan dakwah perlu ada koreksi, maka perlu dipertanyakan dulu, mengapa hal itu perlu terjadi dalam masyarakat umum, misalnya terjadinya perjudian, “berkembangnya budaya minuman keras”, dan system-sistem lain masyarakat modern.

h. Seringkali diperlukan penentuan bagaimanakah dan mengapa dakwah harus dikembangkan dalam masyarakat. Hal ini untuk memperbaiki segi fungsional dakwah itu sendiri dalam masyarakat manusia.

i. Persoalan timing dakwah itu dilancarkan dalam suatu kelomp[ok masyarakat, juga memerluka ketepatan, baik dalam prioritas isi, cara, alat yang dipergunakan maupun penampilan penda’wah sendiri. Sehingga akan menentukan kegunaan dakwah itu. Maka harus dicari jawaban atas “kapan dakwah harus diberikan”. Perlu diketemukan daerah yang operatif untuk dakwah tertentu dan dakwah yang tidak operatif. Timing perlu untuk dakwah di daerah yang baru mengenal dakwah, para masayrakat yang terasing, pada kaum intelektual yang masih baru mempertanyakan perlunya agama bagi manusia, dan lain sebagainya.

j. Penentuan diamanakah suatu topik atau subyek dapat diberikan atau tidak dapat diberikan.

k. Penelitian mengenai cara yang pernah dipakai, apakah masih cocok atau tidak, ataukah sama sekali salah menurut cara yang lebih baru. System dan cara serta metode adalah sangat menentukan dalam keberhasilan dakwah. Oleh sebab itu masalah bagaimanakah dakwah itu harus diterapkan dalam masyarakat perlu kecermatan situasional, substansial dan orientasi.

l. Konsepsional perlu pula mendapatkan perhatian, apakah tepat untuk disampaikan kepada suatu objek dakwah atau tidak. Sebab kesalahan dalam hal ini, mungkin malahan akan menjadikan dakwah menjadi tidak popular dikalangan orang banyak atau dimusuhi oleh umum. “image” masyarakat perlu dibentuk.

m. Pembetulan atau adjustment dan re-adjustment harus selalu diadakan. Ini memerlukan pengamatan yang terus menerus. Terutama oleh organisasi dan manajemen dakwah.

n. Perlu mempertimbangkan seluruh kekuatan masyrakat dalam hal kekuatan fisik maupun kekuatan kejiwaan mereka dalam kemampuan mereka menerima dan mendukung serta menjadi landasan mengembangkan dakwah untuk selanjutnya. Sebab setiap kekuatan tentu ada efeknya.

o. Dakwah perlu terus meningkatkan kemampuan dalam penelitian dan pengembangannya dalam mengadakan study kemasyarakatan, termasuk seluruh kekuatan yang membantu dan yang menghambat keberhasilan dakwah masyarakat. Perlu study pula terhadap seluruh factor yang membatasi gerak kemasyarakatan, karena pembatas masyarakat ini adalah “norma”, sedang dakwah ditinjau dari segi kehidupan masyarakat juga merupakan norma, termasuk study menganai tradisi, norma hokum yang berlaku, budaya masyarakat, permintaan dan keluham-keluhannya.

p. Sebagai organisasi pembentuk masyarakat, maka dakwah adalah usaha besar kemayarakatan yang mempunyai banyak aspek, oleh sebab itu selalu diperlukan brainstorming atau pengarahan otak para pendukungnya, yang berfokus pada kekuatan organisasi dan manajemen dakwah.

q. Satu hal tidak boleh dilupakan dalam pengembangan dakwah juga msalah chek dan recheck atau mencek dan mencek kembali kekuatan dan unsur yang menyangga dakwah dalam masyarakat, agar dakwah selalu up-to-date, mendapat sambutan dan dukungan hangat para peminatnya dan hidup terus dalam perkembangan masyarakat, dalam arena yang bagaimanapun juga bentuknya dan majunya.[11]

Keadaan ini sudah tentu merupakan tugas dari sistem dakwah secara umum, seluruh aspek transmisi dan aspek keturunan serta linkungan hidup harus mampu dipergunakan oleh dakwah, sebagai sarana penting yang menjadikan dakwah perperan penting. Manusia, disadari perlu pengaruh baik seperti yang dimiliki dakwah dalam dirinya, manusia perlu ide-ide yang baik, keterampilan yang berguna, kebiasaan yang terpuji, sikap dan tingkah laku yang bijaksana, kepentingan yang terarah dan lain-lain dasar-dasar nilai kemanusiaan yang luhur. Oleh sbab itu dakwah harus menyusup kedalam semua kegiatan sosial dan teknik manusia dalam dinamika hidup. Pengetahuan dakwah harus tersebar dalam sendi sendi kehidupan manusia, akan lebih efektif sampainya tujuan apabila disertai organisasi dan manajemen yang baik.

Seluruh lingkungan kehidupan sebaiknya dipengaruhi oleh dakwah, apabila dakwah bisa berperan dalam masyarakat secara sempurna, baik lingkungan tersebut adalah lingkungan fisik, biologis, psychologis, maupun kultural mereka.[12]

Pengembangan (developing) merupakan salah satu perilaku manajerial yang meliputi pelatihan (couching) yang digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan keterampilan seseorang dan memudahkan penyesuaian terhadap pekerjaannya dan kemajuan kariernya. Proses pengembangan ini didasarkan atas usaha untuk mengembangkan sebuah kesadaran, kemauan, keahlian, serta keterampilan para elemen dakwah agar proses dakwah berjalan secara efektif dan efesien.

Pengembangan dan pembaruan adalah dua hal yang sangat diperlukan. Rasulullah Saw. mendorong umatnya supaya selalu meningkatkan kualitas, cara kerja dan sarana hidup, serta memaksimalkan potensi sumber daya alam semaksimal mungkin. Karena Allah telah menciptakan alam semesta ini untuk memenuhi hajat hidup manusia.

[1] Tjutju Yuniarsih dan Suwatno, Manajemen Sumber Daya Manusia, Teori, Aplikasi dan Penelitian, (Cet. I; Jakarta: Alfabeta, 2008), h.62.
[2] Sondang P. Siagian, Organisasi Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi (Cet. XIV; Jakarta: Toko Gunung Agung, 1997), h. 150
[3] Sondang. P.Siagian, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Cet.IX; Jakarta: Bumi Aksara, 2001), h. 9
[4] Sondang P. Siagian, Fungsi-fungsi Manajerial (Cet; Jakarta: Bumi Akasara, 1996), h. 130
[5] Soekidjo Notoadmodjo dalam M. Munir dan Wahyu Ilahi, Manajemen Dakwah (Cet. II; Jakarta: Kencana, 2009),h.202-203
[6] M.Syafaat Habib, Buku Pedoman Dakwah (Cet.I; Jakarta: Widjaya), h. 85
[7] Asep Muhiddin dan Agus Ahmad, Metode Pengembangan Dakwah, (Cet. l; Bandung: Pustaka Setia, 2002), h.137-138
[8] Selengkapnya, lihat Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia (Edisi I, Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 150-155.
[9] Rosyad Shaleh, Manajemen Dakwah Islam (Jakarta: Bululan Bintang; 1976), h.150
[10]M. Tholhah Hasan, Prospek Islam dalam Menhadapi Tantangan Zaman, (Cet. IV; Jakarta: Lantabora Press, 2003), h.149
[11] M.Syafaat Habib, op.cit, h.222-224
[12] Ibid, h.209

Metode Pengembangan dan Pelaksanaan Kegiatan Dakwah

www.sentraledukasi.com

Pengembangan/Pelaksanaan Kegiatan Dakwah

Peningkatan dan penyempurnaan terhadap proses dakwah dilakukan setelah diadakan penelitian dan penilaian terhadap jalannya proses dakwah secara menyeluruh setelah suatu proses usaha selesai. Artinya, apabila dalam contoh yang lalu rencana dakwah ditetapkan untuk jangka waktu lima tahun, maka pada jangka waktu tersebut, pimpinan dakwah perlu mengadakan penelitian dan penilaian secara menyeluruh terhadap jalannya proses dakwah. Melalui penelitian dan penilaian itu dapatlah dketahui kelemahan-kelemahan yang ada, penyimpangan-penyimpangan yang telah terjadi dan yang lebih penting lagi adalah diketahui faktor-faktor yang menjadi sebab terjadinya kelemahan dan penyimpangan tersebut.

Dengan data yang diperoleh, pimpinan dakwah dapat mengadakan penyempurnaan. Sehingga untuk proses dakwah pada tahapan berikutnya, tidak akan terulang lagi timbulnya kelemahan dan penyimpangan sebagaimana telah dialami oleh proses dakwah yang baru saja selesasi. Dengan begitu, maka proses dakwah semakin lama semakin maju dan sempurna.

Atas dasar inilah maka penilaian itu harus ditujukan pada fungsi-fungsi manajemen lainnya. Ia harus menjawab mengapa rencana yang telah ditetapkan tidak dapat dilaksanakan; mengapa organisasi yang telah disusun tidak dapat menjamin tercapainya tujuan; mengapa para pelaksana tidak dapat melakukan tugasnya dengan baik, dan sebagainya.

Dari jawaban pertanyaan-pertanyaan yang diajukan itu, dapatlah dilakukan perbaikan-perbaikan, perubahan-perubahan ke arah penyempurnaan dalam arti menyeluruh.

Suatu hal yang sangat ideal adalah bilamana dalam setiap perencanaan untuk setiap tahapan atau jangka waktu tertentu terlihat adanya peningkatan dan penyempurnaan, melebihi waktu-waktu yang sudah. [1]

Hal tersebut sangat penting menjadi fokus perhatian sebab kondisi masyarakat yang menjadi obyek dakwah mengalami perubahan, akibat karena era globalisasi, informasi, dan kemauan teknologi.

Menurut Tholhah Hasan bahwa, Kenyataan perubahan social yang terjadi dewasa ini, lain sifatnya dengan perubahan social yang pernah terjadi dalam masyarakat yang selama ini. Ciri yang menonjol dari perubahan yang terjadi adalah pengaruh yang kuat, cepat dan radikal oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, diawali oleh penemuan-penemuan baru (discovery) dalam Iptek, dilanjutkan dengan perekayasaan berbagai macam bidang Iptek (invention), seperti computer, biotek, teknologi angkasa luar, dan lain-lain. Kemudian dilanjutkan dengan langkah-langkah pengembangan dan pengunggulan (innovation). Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjadi penggerak perubahan hampir dalam semua sector kehidupan, dari yang bersifat fisikal, seperti konstruksi, transportasi, mekanik dan lain-lain sebagainya, sampai yang bersifat mental seperti orientasi, paradigma, etika dan agama.[2]

Terhadap masalah yang dihadapi, yang berkembang di masyarakat, akibat makin majunya suatu masyarakat, semakin beraneka problema yang dihadapi dan dipersoalkan. Oleh karena demkian, menurut Syafaat Habib bahwa dinamika pengembangan dan penelitian perlu terus ditingkatkan, dengan cara:

a. Mencatat dalam tebel secara kronologis dan historis semua jenis persoalan yang pernah dihadapi dengan segala jawaban yang diberikan dan reaksi-reaksi penerima. Dari sana biasa diketemukan cara baru untuk dikembangkan.

b. Perlu selalu dicara jalan untuk menemukan pengembangan dakwah yang lebih cepat yang lebih praktis, baik dalam penyampaian, materi, cara dan lain sebagainya.

c. Perlu juga cara klasifikasi masalah yang dihadapi dan cara pemecahannya. Klasifikasi ini akan membantu menemukan cara yang lebih baik bagi system yang akan dilakukan di kemudian hari. Misalnya mengadakan pengelompokkan masalah ubudiyah, masalah ijtima-iyah, masalah remaja dan lain sebagainya.

d. Mecari keluhan-keluhan masyarakat yang bisa dicarikan pemecahannya melalui ajaran dakwah, agar manusia dapat mengatasi keluhan diri tersebut.

e. Menemukan situasi-situasi yang abnormal dalam masyarakat, kemudian mencari pemesahannya melalui dakwah. Jika perlu mengadakan penelitian terhadap background keadaan yang tidak normal itu, apakah yan menjadi penyebabnya, misalnya bagaimana dakwah menghadapi masalah kenakalan remaja, mengahadapi issue “abortus yang berkembang dalam masyarakat”, menghadapi “keluarga berencana sebagai keharusan warga Negara dan lain-lain sebagainya.

f. Mengadakan analisa secara kualitatif dan kuantitatif, untuk menemukan jawaban apakah sebenarnya problema tertentu yang berkembang dalam masyarakat itu. Dengan analisa yang tepat maka dakwah harus menemukan jawaban terhadap problem yang mungkin oleh masyarakat sendiri masih tanda tanya besar. Misalnya soal “rente bank”.

g. Apabila terjadi suatu kejadian, yang oleh umum dianggap benar, padahal menurut pandangan dakwah perlu ada koreksi, maka perlu dipertanyakan dulu, mengapa hal itu perlu terjadi dalam masyarakat umum, misalnya terjadinya perjudian, “berkembangnya budaya minuman keras”, dan system-sistem lain masyarakat modern.

h. Seringkali diperlukan penentuan bagaimanakah dan mengapa dakwah harus dikembangkan dalam masyarakat. Hal ini untuk memperbaiki segi fungsional dakwah itu sendiri dalam masyarakat manusia.

i. Persoalan timing dakwah itu dilancarkan dalam suatu kelomp[ok masyarakat, juga memerluka ketepatan, baik dalam prioritas isi, cara, alat yang dipergunakan maupun penampilan penda’wah sendiri. Sehingga akan menentukan kegunaan dakwah itu. Maka harus dicari jawaban atas “kapan dakwah harus diberikan”. Perlu diketemukan daerah yang operatif untuk dakwah tertentu dan dakwah yang tidak operatif. Timing perlu untuk dakwah di daerah yang baru mengenal dakwah, para masayrakat yang terasing, pada kaum intelektual yang masih baru mempertanyakan perlunya agama bagi manusia, dan lain sebagainya.

j. Penentuan diamanakah suatu topik atau subyek dapat diberikan atau tidak dapat diberikan.

k. Penelitian mengenai cara yang pernah dipakai, apakah masih cocok atau tidak, ataukah sama sekali salah menurut cara yang lebih baru. System dan cara serta metode adalah sangat menentukan dalam keberhasilan dakwah. Oleh sebab itu masalah bagaimanakah dakwah itu harus diterapkan dalam masyarakat perlu kecermatan situasional, substansial dan orientasi.

l. Konsepsional perlu pula mendapatkan perhatian, apakah tepat untuk disampaikan kepada suatu objek dakwah atau tidak. Sebab kesalahan dalam hal ini, mungkin malahan akan menjadikan dakwah menjadi tidak popular dikalangan orang banyak atau dimusuhi oleh umum. “image” masyarakat perlu dibentuk.

m. Pembetulan atau adjustment dan re-adjustment harus selalu diadakan. Ini memerlukan pengamatan yang terus menerus. Terutama oleh organisasi dan manajemen dakwah.

n. Perlu mempertimbangkan seluruh kekuatan masyrakat dalam hal kekuatan fisik maupun kekuatan kejiwaan mereka dalam kemampuan mereka menerima dan mendukung serta menjadi landasan mengembangkan dakwah untuk selanjutnya. Sebab setiap kekuatan tentu ada efeknya.

o. Dakwah perlu terus meningkatkan kemampuan dalam penelitian dan pengembangannya dalam mengadakan study kemasyarakatan, termasuk seluruh kekuatan yang membantu dan yang menghambat keberhasilan dakwah masyarakat. Perlu study pula terhadap seluruh factor yang membatasi gerak kemasyarakatan, karena pembatas masyarakat ini adalah “norma”, sedang dakwah ditinjau dari segi kehidupan masyarakat juga merupakan norma, termasuk study menganai tradisi, norma hokum yang berlaku, budaya masyarakat, permintaan dan keluham-keluhannya.

p. Sebagai organisasi pembentuk masyarakat, maka dakwah adalah usaha besar kemayarakatan yang mempunyai banyak aspek, oleh sebab itu selalu diperlukan brainstorming atau pengarahan otak para pendukungnya, yang berfokus pada kekuatan organisasi dan manajemen dakwah.

q. Satu hal tidak boleh dilupakan dalam pengembangan dakwah juga msalah chek dan recheck atau mencek dan mencek kembali kekuatan dan unsur yang menyangga dakwah dalam masyarakat, agar dakwah selalu up-to-date, mendapat sambutan dan dukungan hangat para peminatnya dan hidup terus dalam perkembangan masyarakat, dalam arena yang bagaimanapun juga bentuknya dan majunya.[3]

Keadaan ini sudah tentu merupakan tugas dari sistem dakwah secara umum, seluruh aspek transmisi dan aspek keturunan serta linkungan hidup harus mampu dipergunakan oleh dakwah, sebagai sarana penting yang menjadikan dakwah perperan penting. Manusia, disadari perlu pengaruh baik seperti yang dimiliki dakwah dalam dirinya, manusia perlu ide-ide yang baik, keterampilan yang berguna, kebiasaan yang terpuji, sikap dan tingkah laku yang bijaksana, kepentingan yang terarah dan lain-lain dasar-dasar nilai kemanusiaan yang luhur. Oleh sbab itu dakwah harus menyusup kedalam semua kegiatan sosial dan teknik manusia dalam dinamika hidup. Pengetahuan dakwah harus tersebar dalam sendi sendi kehidupan manusia, akan lebih efektif sampainya tujuan apabila disertai organisasi dan manajemen yang baik.

Seluruh lingkungan kehidupan sebaiknya dipengaruhi oleh dakwah, apabila dakwah bisa berperan dalam masyarakat secara sempurna, baik lingkungan tersebut adalah lingkungan fisik, biologis, psychologis, maupun kultural mereka.[4]

[1] Rosyad Shaleh, Manajemen Dakwah Islam (Jakarta: Bululan Bintang; 1976), h.150

[2]M. Tholhah Hasan, Prospek Islam dalam Menhadapi Tantangan Zaman, (Cet. IV; Jakarta: Lantabora Press, 2003), h.149

[3] M.Syafaat Habib, op.cit, h.222-224

[4] Ibid, h.209

Profesionalisme Dalam Manajemen Dakwah

www.sentraledukasi.com

Profesionalisme Dalam Manajemen Dakwah

Mengamati perkembangan masyarakat dalam konteks kekinian (yang populer dengan istilah golobalosasi) tantangan yang dihadaipi sumber daya manusia dalam berbagai bidang dan profesi, juga semakin meningkat berat, dan semakin besar serta semakin kompleks. Dikatakan berat, karena hal tersebut memerlukan berbagai daya dan upaya untuk menghadapinya. Demikian halnya dikatakan besar, dilihat dari cakupannya karena menjangkau sektor yang amat banayak. Serta dikatakan kompleks karena antara satu masalah dengan masalah lain saling terkait.

Apa yang menjadi permasalah di atas, sesungguhnya penyelenggaraan dakwah menjadi sebuah tantangan besar untuk menhadapi dan mencarikan jalan kekuarnya. Untuk maksud tersebut maka keberadan para pelaksana dakwah (da’i) mutlak diperlukan seiring dengan tantangan tersebut dan harus mengahadapinya maka diperlukan sumber daya manusia pelaksana kegiatan dakwah (da’i) yang handal dan profesional. 
Untuk memperoleh gambaran tentang istilah profesional, maka berikut ini dikemukakan pengertian.

Istilah profesionalisme berasal dari akar kata yang artinya bidang pekerjaan yang dilandasi oleh pendidikan, keahlian (keterampilan) tertentu. Kemudian kata profesi ini berkembang lagi menjadi professional, yang berarti:
a. Bersangkutan dengan profesi;
b. Memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankan suatu pekerjaan;
c. Mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya;
d. Lawan dari amatir.

Selanjutnya istilah professional kemudian menjadi profesionalisme yang berarti mutu/kualitas dan tindak tanduk yang merupakan ciri dari suatu profesi atau orang yang professional dalam bidang atau suatu paham yang berorientasi pada kualitas kerja.[1]

Robert G. Murdick dan Joel E. Ross (1981), menyebut kriteria profesionalisme sebagai berikut:
1. Knowledge (pengetahuan).
2. Competent application (aplikasi kecakapan)
3. Social responsibility (tanggung jawab sosial)
4. Self-control (pengendalian diri)
5. Community sanction(saksi masyarakat atau sosial)

Dari pengertian atau batasan dan kriteria atau karakteristik profesi seperti dikemukakan diatas diperoleh penjelasan, bahwa profesi tidak sekedar pekerjaan apabila dijabarkan lebih lanjut memiliki karakteristik atau kriteria sebagai berikut:

1. Profesi memiliki badan pengetahuan dan teori yang esoterik artinya tidak dimiliki oleh sembarang orang kecuali yang sudah pernah mendapatkannya.

2. Profesi merupakan suatu keahlian (expertise) yang diperoleh melalui proses pendidikan formal yang ketat, melalui latihan (training) dan pengalaman dalam praktek.

3. Profesi memiliki kode etik yang kuat yang mengatur hubungan antara anggota profesional serta hubungan antara profesional dengan langganan, konsumen atau klien (clients) untuk tujuan perlindungan (protects). Karena pengetahuan profesional ahli dalam bidang khusus, langganan bergantung pada mereka mudah diserang

4. Profesi memiliki tanggung jawab dan dedikasi sosial dan institutional atau organisasi sesuai dengan kode etik.

5. Profesi memiliki perhimpunan (corporateness atau associateness) yang mendapat pengakuan dari pemerintah, masayarakat dan lingkungan.

6. Untuk memasuki profesi ditetapkan berdasarkan kriteria-kriteria dan syarat-syarat tertentu.[2]

Kanneth Blanchard dan Spenser Johnson mengajukan tiga proses sederhana untuk pengembangan sumber daya manusia secara indiviudal yang profesional. Ketiga proses itu antara lain adalah perumusan tujuan, pemberian penghargaan, dan pemberian peringatan. Hal ini didasarkan atas prinsip, bahwa feedback merupakan jalan menuju kualitas.[3]

Sementara Hamzah Ya’qub, bahwa ukuran kualitas untuk menentukan Sumber daya manusia (tenaga kerja) diperlukan tolok ukur Sebagai berikut;

1. Beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt. Faktor Iman dan taqwa merupakan fundamen kepribadian yang dapat menghasilkan pekerjaan yang bertanggung jawab.

2. Berbudi pekerti yang luhur. Iman seseorang akan memancarkan budu pekerti luhur termasuk didalamnya tanggung jawab, lurus dan jujur, istiqamah, sabar daan lain-lain sikap dan sifat yang terpuji (akhlakul karimah) yang direalisasikan dalam medan kerjanya.

3. Sehat jasmani. Setiap orang muslim perlu membina fisiknya melalui berbagai upaya, antara lain memakan makanan yang bergizi baik, olah raga, istirahat dan kerja yang seimbang. Kelesuan pisik mempengaruhi semangat kerja.

4. Sehat Rohani, Meliputi kestabilan mental dalam mengahadapi tugas pekerjaan, memiliki semangat dan gairah kerja yang selalu hidup, antusias dan sebagainya.

5. Trampil. Salah satu ukuran mutlak untuk menentukan tenaga yang berkualitas ialah ketrampilan (skill) dalam bidang tugas yang dihadapinya.[4]


[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Cet.IV; Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h.789

[2] Ulbert Silalahi, Studi Tentang Ilmu Administrasi, Konsep, Teori, dan Dimensi, (Cet.IV; Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2002), h.81-82

[3] Kanneth Blanchard dan Spenser Johnson dalam M. Munir dan W.Ilahi, op.cit, h.209

[4] Hamzah Ya’qub, Etos Kerja Islami, Petunjuk Pekerjaan yang Halal dan Haram dalam Syariat Islam, (Cet.I; Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), h. 101-102

Baca Juga Artikel :

Pentingnya Kepemimpinan Dan Kemampuan Manajerial

Pentingnya Kepemimpinan Dan Kemampuan Manajerial dalam Proses Dakwah

Kepemimpinan sebagai konsep manajemen dakwah juga akan dikemukakan rumusannya meliputi kepemimpinan sebagai salah satu seni dalam berdakwah untuk menciptakan kesesuaian dalam mencari titik temu, kepemimpinan sebagai suatu bentuk persuasif dan inspirasi dalam berdakwah, kepemimpinan adalah kepribadian yang memiliki pengaruh, kepemimpinan adalah tindakan dan prilaku, kepemimpinan sebagai suatu bentuk persuasif dan inspirasi dalam berdakwah, kepemimpinan merupakan titik sentral proses kegiatan dakwah, kepemimpinan dakwah merupakan hubungan antara kekuatan dan kekuasaan, kepemimpinan sebagai suatu tujuan, kepemimpinan merupakan hasil dari interaksi, kepemimpinan adalah peranan yang dibedakan.

https://sentraledukasi.blogspot.co.id/2017/03/pentingnya-kepemimpinan-dan-kemampuan.html

1. Kepemimpinan dan Kemampuan Manajerial

Secara etimologi kepemimpinan dapat diartikan sebagai berikut:

1. Dalam kamus bahasa Indonesia ditemukan arti harfiah, kepemimpinan dengan prihal memimpin.[1] ..
2. Berasal dari kata dasar “pimpin” ‘(dalam bahasa Inggris lead) berarti bimbing atau tuntun. Dengan demikian didalamnya ada dua pihak yaitu yang dipimpin (umat) dan yang memimpin (imam).
3. Setelah ditambah awalan “pe” menjadi pemimpin (dalam bahasa Inggris leader) berarti orang yang mempengaruhi pihak orang lain melalui proses kewibawaan komunikasi sehingga orang lain tersebut bertindak untuk mencapai tujuan tertentu.
4. Apabila ditambah akhiran “an” menjadi pimpinan artinya orang mengepalai. Antara pemimpin dengan pimpinan dapat dibedakan, yaitu pimpinan (kepala) cenderung lebih sentralistis, sedangkan pemimpin cenderung lebih demokratis.
5. Setelah dilengkapi dengn awalan “ke” menjadi kepemimpinan (dalam bahasa Inggris leadership) berarti kemampuan dan kepribadian seseorang dalam mempengaruhi serta membujuk pihak lain agar melakukan tindakan pencapaian tujuan bersama, sehingga dengan demikian yang bersangkutan menjadi awal struktur dan pusat proses kelompok.[2]

Ralph M. Stogdill menghimpum sebelas defenisi kepemimpinan, yaitu sebagai berikut:

1. Kepemimpinan sebagai pusat proses kelompok.

2. Kepemimpinan sebagai kepribadian yang berakibat.

3. Kepemimpinan sebagai seni menciptakan kesepakatan.

4. Kepemimpinan sebagai kemampuan mempengaruhi.

5. Kepemimpinan sebagai tindakan perilaku.

6. Kepemimpinan sebagai suatu bentuk bujukan.

7. Kepemimpinan sebagai suatu hubungan kekuasaan.

8. Kepemimpinan sebagai saranan pencapaian tujuan.

9. Kepemimpinan sebagai hasil interaksi.

10. Kepemimpinan sebagai pemisahan peranan.

11. Kepemimpinan sebagai awal struktur.[3]

James M. Black dalam Tjokroamidjojo, menyatakan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan yang sanggup meyakinkan orang lain supaya bekerja sama di bawah pimpinannya sebagai suatu teori untuk mencapai atau melakukan suatu tujuan tertentu.[4]

Pendapat yang lain menyatakan bahwa kepemimpinan adalah sekumpulan dari serangkaian kemampuan sifat-sifat kepribadian, termasuk didalamnya kewibawaan untuk dijadikan sebagai sarana dalam rangka meyakinkan yang dipimpinnya agar mereka mau dan dapat melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya dengan suka rela, penuh semangat, ada kegembiraan batin serta mereka tidak terpaksa.[5]

Demikian juga Miftah Thoha, bahwa kepemimpinan adalah aktifitas untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar mereka mau diarahkan.[6]

Sejalan dengan hal tersebut, keberhasilan seorang pemimpin dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya, lebih banyak ditentukan oleh kemampuan dan keahliannya dalam menggerakkan orang lain, inilah yang disebut dengan manajerial skill.[7]

Manajemen merupakan sebuah kegiatan; pelaksanaannya disebut manajing dan orang yang melaksanakannya disebut manajir. Individu yang menjadi manajer menangani tugas-tugas baru yang seluruhnya bersifat, ”manajerial”. Yang penting diantaranya ialah menghentikan kecenderungan untuk melaksanakan segala sesuatunya seorang diri saja. Tugas-tugas operasional dilaksanakan melalui upaya-upaya kelompok anggotanya

Bertitik tolak pada pandangan tersebut, maka tuntutan logisnya adalah penting adanya usaha berencana dan terkoordinir untuk meningkatkan kemampuan manajemen atau lebih umum dikenal dengan kemampuan manajerial.

Demi kelancaran pimpinan dalam menjalankan tugas pokok, maka dibutuhkan keterampilan pemimpin (skills):

1. Keterampilan konseptual (conceptual skills = C), yaitu kemampuan mental pimpinan yang mengkordinasikan kepentingan dan kegiatan menuju tercapainya tujuan organisasi secara keseluruhan.

2. Keterampilan manusiawi (human skills = H), yakni kemampuan pimpinan untuk memahami, mengadakan kerja sama mencapaian tujuan organisasi.

3. Keterampilan teknis (technical skills = T), yaitu kemampuan pimpinan untuk menggunakan peralatan, melakukan kegiatan sesuai dengan prosedurnya, dan penguasaan secara teknis di bidang yang dipimpinnya.

4. Keterampilan bersikap bijak (political skills = P), dalam arti kemampuan pimpinan untuk menempatkan diri pada jabatannya, kebijakan dalam menggunakan kewenangannya, dan dalam mengadakan hubungan yang baik.[8]

Walaupun jenis-jenis keterampilan tersebut, diperlukan oleh setiap pimpinan pada berbagai tingkatan dan jenjang dalam menciptakan manajemen yang efektif, tetapi kuantitas dan kualitas pentingnya setiap jenis keterampilan lebih banyak ditentukan oleh jenjang dan tingkatan jabatan dalam organisasi.

Dengan demikian, tingkat keterampilan (skill) yang dimiliki, tidak selalu sama antara pimpinan pada tingkat manajemen yang satu dengan keterampilan yang dimiliki pimpinan pada tingkat manajemen yang lain.

Demikian halnya Siagian, mengemukakan bahwa manajerial skill adalah keahlian menggerakkan orang lain untuk bekerja dengan baik. Jadi Kemampuan manajerial untuk menggerakkan orang lain dengan memanfaatkan sumber-sumber daya yang ada dalam pencapaian tujuan organisasi secara efektif.[9]

Berdasarkan makna tentang kepemimpinan, maka dapat dirumuskan tugas-tugas seorang pemimpin adalah sebagai berikut:

1. Mempelopori dan bertanggungjawab atas segala kepemimpinannya.
Pengertian kepeloporan dan rasa tanggung jawab menunjukkan suatu sikap, bahwa seorang pemimpin bertugas memimpin segala aktivitas dengan penuh rasa tanggungjawab terhadap kepemimpinannya. Sebab, pada pundak pemimpinlah adanya masa depan anggotanya dan secara tidak langsung juga membawa kemajuan organisasi atau lembaga kelompok.

2. Merencanakan segala kegiatan.
Prencanaan suatu kegiatan merupakan langkah menuju tersusunnya suatu program. Seorang pemimpin harus memiliki suatu perencanaan yang matang tentang program yang akan dilaksanakan. Perencanaan program erat kaitannya dengan kemampuan untuk melahirkan suatu gagasan tentang program. Sedangkan perencanaan merupakan upaya operasionalisasi program atau dalam wujud urutan kerja secara tertib.

3. Kondisi program.
Seorang pemimpin harus mampu menyusun program kerja yang sesuai dengan tujuan dari kelompok kerja organisasi yang dipimpin. Penyusunan program merupakan suatu rangkaian kegiatan yang akan dilaksanakan sesuai waktu yang direncakan. Kemampuan pemimpin dalam menyusun program kerja akan mengarah kepada suksesnya pekerjaan dengan hasil yang maksimal.

4. Evaluasi (penilaian) kerja.
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan dari proses kepemimpinan seorang pemimpin, maka ia harus mampu mengadakan evaluasi (penilaian) dari seluruh rangkaian kegiatan yang telah dicanangkan.
Penilaian seluruh program dilaksanakan agar tujuan kelompok atau organisasi itu dapat meningkat menuju kemajuan seluruh anggotanya.

5. Membuat suatu kerja lanjutan.
Membuat kerja lanjutan dimaksudkan sebagai proses peningkatan program menuju kemajuan program yang pada akhirnya akan mencapai mutu atau kualitas kerja termasuk anggotanya. Seorang pemimpin harus mampu merencanakan dan menyusun kegiatan yang telah dilakukannya.
6. Pemimpin sebagai da’i.
Pemahaman tentang pemimpin sebagai da’i adalah terletak pada hakikat fungsional seorang pemimpin. Seorang pemimpin secara fungsional otomatis juga komunikator, sebab kegiatan pemimpin tidak lepas dari kegiatan komunikasi. Artinya, da’i pun dalam aktivitasnya cenderung untuk menjadi seorang pemimpin. Dengan demikian, dapat dipersepsikan bahwa tugas antara kepemimpinan dan tugas da’i dapat dilakukan sekaligus.[10]

2. Kepemimpinan dan Manajemen Dakwah
Dari pengertian kepemimpinan yang telah dipaparkan di atas, para ahli manajemen sepakat bahwa kepemimpinan adalah sebagai suatu konsep manajemen dalam kehidupan organisasi yang memiliki posisi sangat strategis dan merupakan gejala sosial yang selalu diterapkan dalam kehidupan kelompok. Kepemimpinan berada pada posisi yang strateis karena kepemimpinan merupakan titik sentral administrasi dari seluruh proses kegiatan organisasi. Sehingga kepemimpinan memiliki peranan sentral di dalam menentukan dinamika sumber-sumber yang ada.[11]

Disamping memiliki kedudukan yang sangat strategis, kepemimpinan juga harus dimiliki oleh orang yang menyampaikan dakwah. Karena dalam lapangan dakwah akan banyak terjadi interaksi atau kerja sama antara satu dengan lain untuk mencapai tujuan.

Sedangkan yang dimaksud dengan kepemimpinan dakwah adalah sikap kepemimpinan yang dimiliki oleh seorang da’i yang mendukung fungsinya untuk menghadapi publik dalam berbagai kondisinya. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan kepemimpinan manajemen dakwah adalah suatu kepemimpinan yang fungsinya dan peranannya sebagai manajer suatu organisasi atau lembaga dakwah yang bertanggungjawab atas jalannya semua fungsi manajemen mulai dari planning, organizing, actuating, and controlling.[12]

Kepemimpinan sebagai konsep manajemen dakwah dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Kepemimpinan sebagai salah satu seni dalam berdakwah untuk menciptakan kesesuaian dalam mencari titik temu. Ini berarti, bahwa setiap pemimpin/manajer harus mampu bekerjsama dengan anggota organisasi tersebut guna mencapai hasil yang telah ditetapkan. Peranan pemimpin disini adalah adalah memberikan dorongan terhadap para da’i. Oleh karena, kepemimpinan adalah suatu seni bagaimana orang lain mengikuti serangkaian tindakan orang untuk mencapai tujuan.

2. Kepemimpinan sebagai suatu bentuk persuasif dan inspirasi dalam berdakwah. Dimana kepemimpianan dalam dakwah ini dimasukkan sebagai suatu kemampuan mempengaruhi umat, yang dilakukan bukan melalui paksaan melainkan melalui himbauan persuasif.

3. Kepemimpinan adalah kepribadian yang memiliki pengaruh. Dalam kepemimpinan dakwah ini sifat atau nila-nilai pribadi adalah mengacu pada akhlak Rasulullah yang merupakan sumber utama.

4. Kepemimpinan adalah tindakan dan prilaku pemimpin dalam arti digambarkan sebagai serangkaian perilaku seorang da’i yang mengarahkan kegiatan bersama.

5. Kepemimpinan merupakan titik sentral proses kegiatan dakwah. Dari sini diharapkan kepemimpinan lahir sebagai gagasan segar yang memberikan dorongan lahirnya sebuah perubahan dalam aktivitas dakwah. Maka dari itu kepemimpinan dakwah tidak dapat dipisahkan dari organisasi dakwah itu sendiri, dan menduduki posisi tertinggi dalam menentukan struktur organisasi dan suasana organisasi.

6. Kepemimpinan dakwah merupakan hubungan antara kekuatan dan kekuasaan. Kepemimpinan dalam organisasi dakwah merupakan suatu bentuk relatinship antara yang dipimpin dan yang memimpin. Dalam hal ini da’i lebih banyak mempengaruhi dari pada dipengaruhi.

7. Kepemimpinan sebagai suatu tujuan. Dalam hal ini manajer dakwah memiliki suatu program dan yang berperilaku searah bersama-sama dalam organisasi dakwah mempergunakan style tertentu sehingga kepemimpinan memiliki kekuatan yang mampu memotivasi dan mengkoordinasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

8. Kepemimpinan merupakan hasil dari interaksi, kepemimpinan dalam manajemen dakwah merupakan suatu proses hubungan sosial antar pribadi, dimana pihak lain mengadakan penyesuaian. Disamping merupakan suatu proses dimana terjadi interaksi saling memotivasi dalam mencapai tujuan dakwah. Kepemimpinan muncul karena proses interaksi dalam organisasi itu sendiri. Sebab kepemimpinan itu bukan merupakan sebab melainkan akibat dari perilaku dalam sebuah organisasi.

9. Kepemimpinan adalah peranan yang dibedakan. Dalam organisasi dakwah terdapat tugas yang dibebankan kepada masing-masing anggota. Kepemimpinan ini muncul akibat dari interaksi sosial dalam kehidupan organisasi karena kelebihan-kelebihan yang ia miliki dan ia angkat menjadi pemimpin. Kepemimpinan itu merupakan invitation of structure. Kepemimpinan disini tidak bisa dipandang sebagai sebuah jabatan pasif, melainkan sebuah jabatan yang harus berperan dalam suatu tindakan memenuhi pembentukan struktur dan interaksi, sebagai bagian dari proses pecahan masalah umat.[13]

Sedangkan dari sisi fungsinya sebagai pemimpin dan komunikator juga terdapat tugas mengemban misi dakwah. Dengan demikian, kedudukan pemimpin sebagai da’i jelas sekali, bahwa tugas amar ma’ruf nahi munkar adalah berada di pundak seluruh umat Islam.

Pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang memiliki kemampuan untuk memadukan antara dimensi institusional dengan dimensi individual. Adapun karakter manajer dakwah yang ideal sebagaimana yang dikemukakan oleh Munir dan Wahyu Ilahi[14] adalah sebagai berikut:

BACA ARTKEL SELENGKAPNYA PADA LINK INI
Baca Juga Artikel MULTIKULTURALISME DALAM PENDIDIKAN ISLAM 
-------------------------------------------------
[1]Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h.684.
[2]Inu Kencana Syafiie, Alquran dan Ilmu Administrasi (Cet. I; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000), h.72
[3] Ibid, 73-74
[4] Bintoro Tjokroamidjojo, Pengantar Administrasi Pembangunan (Jakarta: LP3ES, 1974), h. 110.
[5] Ngalim Purwanto, Administrasi dan Super Visi Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1987), h. 26
[6]Miftah Thohah, Kepemimpinan Dalam Manajemen, Suatu Pendekatan Prilaku (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), 123
[7]Burhanuddin, Analisis Administrasi Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), 111
[8]Katz dan Mintzberg dalam Ibnu Syamsi, Pokok-Pokok Organisasi dan Manajemen. (Cet. III; Jakarta: PT. Renika Cipta, 1994), h. 64.
[9]S. P. Siagian, Manajemen Sumber Daya Manusia (Cet. IV; Jakarta: Bumi Aksara, 2001) h. 36
[10] Bachri Ghozali, Dakwah Komunikatif; Membangun Kerangka Dasar Ilmu Komunikasi Dakwah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1987), h.36
[11] Wahjosumidjo, kepemimpinan dan Motivasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1993), h.21
[12] Zaini Muhtarom, Dasar-dasar Manajemen Dakwah, (Jakarta: al-Amin, 1996), h.74
[13] M. Munir dan Wahyu Ilahi, Manajemen Dakwah (Cet. II; Jakarta: Kencana, 2009), h.221-222
[14] h. Ibid, h. 234-238