Load more

TINJAUAN PENERAPAN AKUNTANSI PERTANGGUNGJAWABAN SEBAGAI PENGUKUR PRESTASI MANAJER PUSAT LABA PADA PT. COLUMBINDO PERDANA SUB CABANG DKI PUBAR

DAFTAR PUSTAKA


Adolph, Milton F. Usry Dan Lawrence H. Hammer, (Alfonses Sirait), (1993), Akuntansi Biaya (Perencanaan Dan Pengendalian), Penerbit Erlangga, Jakarta.

Anthony, Dearden, Bedford, (1992), Sistem Pengendalian Manajemen, Edisi Ke-6 Jilid I, Penerbit Binarupa Aksara, Jakarta.

Charles Horngren, (1994), Akuntansi Biaya, Erlangga, Jakarta.

Dajan Anto, (1992), Pengantar Metode Statistik, Jilid 7, LP3S, Jakarta.

Hadibroto S., (1998), Dasar-Dasar Akuntansi, Erlangga, Jakarta.

Hutabarat Pungka, (1998), Soal Dan Jawaban Akuntansi, UKI, Jakarta.

Mulyadi, (1992), Akuntansi Biaya, Edisi Ke-2, STIE YKPN, Yogyakarta.

----------, (1993), Akuntansi Manajemen, Edisi Ke-2, STIE YKPN, Yogyakarta.

Machfud Mas’ud, (1995), Akuntansi Manajemen, Edisi Keempat, BPFE, Yogyakarta.

Masngudi, (1998), Metodologi Penelitian Ekonomi, Edisi Ke-2, Universitas Borobudur, Jakarta.

Supriyono, (1987), Drs. R.A., Akuntansi Manajemen I , BPFE - Yogyakarta Anggota IKAPI.

Supriyono, Drs. R.A., (2001), Akuntansi Manajemen 2 Struktur Pengendalian Manajemen. 
 
Download Skripsi lengkapnya melalui icon download berikut :
 

PELUANG PERBANKAN SYARI’AH DALAM MENDUKUNG PEREKONOMIAN NASIONAL

ABSTRAK


Nama : 
FITRIAWATI NUR
Nim : 
10200105082
Judul : 
PELUANG PERBANKAN SYARI’AH DALAM MENDUKUNG PEREKONOMIAN NASIONAL


Skripsi ini membahas dua masalah pokok, yakni: peluang perbankan syari’ah dalam mendukung perekonomian nasional dan hambatan perbankan syarah dalam mendukung perekonomian nasional.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peluang perbankan syari’ah dalam mendukung perekonomian nasional dan untuk mengetahui hambatan yang dihadapi perbankan syari’ah dalam mendukung perekonomian nasional.

Dalam pendekatan penelitian, yang digunakan adalah pendekatan analisa SWOT, yang berdasarkan kepada kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity), dan ancaman (threat). Data yang berkumpul, diolah dengan mengunakan metode induktif, deduktif, dan komperatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbankan syari’ah memiliki peluang dalam mendukung perekonomian nasional. Faktor-faktor pendukung tersebut adalah besarnya jumlah penduduk muslim di Indonesia, serta secara yuridis perbankan syari’ah telah mampu berkembang. Sedangkan Hambatan yang dihadapi perbankan syari’ah dalam mendukung perekonomian nasional adalah kurang pahamnya masyarakat akan perbankan syari’ah serta kurangnya jaringan perbankan syari’ah dan sumber daya manusia (SDM) guna mengembangkan perbankan syari’ah. 
 

Pertimbangan Penetapan Harga (Studi Kasus Pedagang Beras di Pasar Tradisional Limbung Kabupaten Gowa)






ABSTRAK


Nama Penyusun : Dewi Sartika Yasim
NIM : 10200107019
Judul Skripsi : Pertimbangan Penetapan Harga (Studi Kasus Pedagang Beras di Pasar Tradisional Limbung Kabupaten Gowa)”,

Skripsi ini adalah studi tentang Pertimbangan Penetapan Harga (Studi Kasus Pedagang Beras di Pasar Tradisional Limbung Kabupaten Gowa)”. Permasalahan pokok yang terfokus permasalahan adalah gambaran model penetapan harga pedagang beras dan faktor-faktor yang memengaruhi pertimbangan pedagang beras dalam menetapkan harga beras di pasar tradisional Limbung kabupaten Gowa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model penetapan harga pedagang beras di pasar tradisional Limbung kabupaten Gowa, mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi pertimbangan pedagang beras dalam menetapkan harga dagangannya di pasar tradisional Limbung kabupaten Gowa. mengembangkan suatu teori dalam ekonomi islamyang berkaitan mengenai pertimbangan penetapan harga sehingga dapat disesuaikan dengan kondisi yang sedang berlansung

Untuk memperoleh data yang relevan, maka tipe penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Pendekatan studi yang digunakan penulis adalah mekanisme pasar perspektif ekonomi Islam.

Hasil penelitian menunjukkan suatu model penetapan harga beras yang berjalan secara simultan di pasar tradisional Limbung Kabupaten Gowa, dengan melihat indikator jenis dan varian harga serta proses jual beli beras. Demikian dengan proses jual beli di pasar tradisional Limbung dan persaingan antar-pedagang berjalan dengan kondusif. Tidak terjadi monopoli harga di antara pedagang, karena adanya pengendalian harga atas suatu jenis barang. Karena itu pedagang relatif bebas untuk menentukan harga sesuai kesepakatan dengan pembeli. Demikian dengan sistem pasar di pasar tradisional Limbung dan persaingan antar-pedagang berjalan dengan kondusif.

Pelbagai faktor yang memengaruhi pertimbangan pedagang beras dalam menetapkan harga beras di pasar tradisional Limbung antara lain; Faktor Produksi, Faktor Penawaran, Faktor Permintaan, Faktor Persaingan, Faktor Kelangkaan Beras, Intervensi Pemerintah, dan Faktor pengaruh Iklim/Musim. Selain itu, terdapat beberapa faktor lainnya yang dapat mempengaruhi harga beras menjadi tidak normal di Pasar Tradisonal Limbung. Diantaranya permainan harga yang disebabkan oleh praktik monopoli dan persaingan tidak sehat, penyalahgunaan kelemahan yang terdapat pada diri konsumen seperti keadaan SDM lemah, tidak terpelajar atau keadaan konsumen yang sedang terdesak untuk memenuhi suatu kebutuhannya, penipuan dan informasi yang tidak merata dan transparansi.


Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas V SD Inpres Batua II Bertingkat Makassar melalui Penerapan Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together. Skripsi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Makassar.


ABSTRAK


FAHRUL. 2007. Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas V SD Inpres Batua II Bertingkat Makassar melalui Penerapan Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together. Skripsi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Makassar.

Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (classroom action research) yang bertujuan untuk mengetahui apakah penerapan pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas V SD Inpres Batua II Bertingkat Makassar. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas V SD Inpres Batua II Bertingkat Makassar pada semester ganjil tahun pelajaran 2007/2008 dengan jumlah siswa 45 orang. Penelitian ini dilaksanakan sebanyak dua siklus, masing-masing siklus dilaksanakan sebanyak 5 kali pertemuan. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan tes hasil belajar dan observasi. Data hasil belajar yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan analisis kuantitatif dan data hasil observasi dianalisis dengan analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa skor rata-rata siswa pada siklus I sebesar 54.16 dengan standar deviasi 14.76. sedang pada Siklus II diperoleh skor rata-rata sebesar 71.71 dengan standar deviasi 9.75. Hal ini menunjukkan telah tercapai hasil belajar siswa secara klasikal. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dengan diterapkannya pembelajaran kooperatif tipe NHT pada siswa kelas V SD Inpres Batua II Bertingkat Makassar dalam proses pembelajaran, maka hasil belajar matematika, kehadiran, kesiapan dan keaktifan siswa dapat meningkat. 

KREDIBILITAS AKSIOLOGI TERHADAP FILSAFAT PRAGMATISME




BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Amerika, dan terutama negara-negara Barat lainnya boleh kita akui sampai saat ini merupakan negara adidaya, adikuasa atau pun super power, dengan berbagai macam kemajuan yang dicapai selama kurang lebih tiga abad terakhir. Kemajuan yang dimiliki Amerika memang bisa diakui menjadi poros negara belahan dunia untuk mengkaji dan mengikuti teori yang selama ini dijadikan acuan oleh negara adidaya tersebut. Mengapa Amerika yang disinggung? Karena filsafat pragmatisme lahir dan berkembang satu abad yang lalu di Amerika dan di klaim sebagai filsafat khas Amerika. Kemajuan yang dicapai Amerika dari beberapa segi tidak terlepas dari pengaruh filsafat pragmatisme yang di amininya selama ini.

Pragmatisme merupakan gerakan filsafat Amerika yang mulai terkenal selama satu abad terakhir. Aliran filsafat ini merupakan suatu sikap, metode dan filsafat yang memakai akibat-akibat praktis dari pikiran dan kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai kebenaran.

Pragmatisme sudah banyak dibicarakan oleh para penulis, baik dilihat sebagai aliran pemikiran filsafat, maupun sebagai strategi pemecahaan masalah yang bersifat praktis. Pragmatisme juga dikenal sebagai sikap dan metode yang lebih menekankan pada akibat dan kegunaan setiap konsep atau gagasan daripada berputar-putar dengan masalah metafisis-filosofis. Sehingga paham ini memiliki karakteristik yang membedakannya dari paham-paham lainnya. Respons terhadap paham ini bermacam-macam. Banyak yang mendukung dan banyak pula yang menentangnya. Kesan negatif terhadap paham ini muncul antara lain karena paham ini dinilai enggan dengan kerewelan (perdebatan) filosofis yang tiada henti, enggan mendiskusikan asumsi-asumsi dasar, persepsi dan nilai-nilai yang mendasar, dan cenderung langsung turun pada perencanaan praktis.[1]

Meskipun demikian, dilihat dari sisi yang lain, pragmatisme dinilai positif, karena dapat membawa teori ke medan praktis, berupaya menurunkan filsafat ke tanah (membumi) dan menghadapi masalah-masalah yang hidup sekarang. Dengan ungkapan lain, pragmatisme berusaha untuk membumikan filsafat agar dapat digunakan untuk memecahkan masalah keseharian di sekitar kita, sebagaimana dikemukakan oleh Dewey, bahwa filsafat pragmatisme bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia serta aktivitasnya untuk memenuhi kebutuhan manusiawi.[2]

Aksiologi sebagai bagian penting lainnya dari filsafat berbicara tentang hakekat nilai, baik nilai etis maupun nilai estetis, yang jika dikaitkan dengan filsafat pragmatisme tentu akan menghasilkan tanda tanya akan nilai dari filsafat pragmatisme yang menjadi nilai tersendiri yang dapat dipercayai.

Pakar filsafat pendidikan Islam seperti Syed Naquib al-Attas menyatakan bahwa ilmu pengetahuan modern tidak bebas nilai, ia netral sebab dipengaruhi oleh pandangan-pandangan keagamaan, kebudayaan, dan filsafat. Oleh karena itu umat Islam perlu mengislamisasikan ilmu.[3] Pernyataan al-Attas tersebut bahwa ilmu bebas nilai mengindikasikan adanya aksiologi, yakni pertimbangan nilai dalam ilmu pengetahuan. Ilmu apapun namanya, jika ia diletakkan dalam wadah yang islami, maka ilmu tersebut adalah “ilmu Islam” dan di luar itu tidak islami.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakan di atas, penulis dapat merumuskan beberapa permasalahan yang akan menjadi topik utama pembahasan dalam makalah ini, yaitu:

1. Apa pengertian kredibilitas, aksiologi, dan filsafat pragmatisme?

2. Tokoh-tokoh dan Pokok-Pokok Ajaran Filsafat Pragmatisme

3. Bagaimana kredibilitas aksiologi terhadap filsafat pragmatisme?


BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Kredibilitas, Aksiologi, dan Filsafat Pragmatisme

Sebelum lebih jauh mengkaji makalah ini ada baiknya jika penulis memaparkan beberapa pengertian dari judul untuk menghindari kekeliruan dalam memahami maksud dari makalah ini, berikut beberapa pengertian dari buku referensi yang penulis gunakan:

1. Kredibilitas

Kre.di.bi.li.tas /kredibilitas _ perihal dapat dipercaya[4]

Kredibilitas adalah alasan yang masuk akal untuk bisa dipercayai. Seorang yang memiliki kredibilitas berarti dapat dipercayai, dalam arti kita bisa mempercayai karakter dan kemampuannya. Sokrates mengatakan, "Kunci utama untuk kejayaan adalah membuat apa yang nampak dari diri kita menjadi kenyataan.[5]

2. Aksiologi

Kegunaan ilmu pegetahuan bagi kehidupan manusia[6]

Secara etimologi, aksiologi berasal dari perkataan “axios” (Yunani) yang berarti “nilai”, dan “logos” berarti “teori” jadi aksiologi adalah teori tentang nilai.[7]

Secara istilah, aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan.[8] Sejalan dengan itu, Sarwan menyatakan bahwa aksiologi adalah studi tentang hakikat tertinggi, realitas, dan arti dari nilai-nilai (kebaikan, keindahan, dan kebenaran).[9] Dengan demikian aksiologi adalah studi tentang hakikat tertinggi dari nilai-nilai etika dan estetika. Dengan kata lain, apakah yang baik atau bagus itu.

3. Filsafat

Pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya.[10]

Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu: philosophy, adapun istilah filsafat berasal dari istilah Yunani: philosophia, yang terdiri atas dua kata: philos(cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan sophos (‘hikmah’, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi). Jadi, secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran (love of wisdom) Orangnya disebut filosof yang dalam bahas Arab disebut failasuf.[11]

4. Pragmatisme

Kepercayaan bahwa kebenaran atau nilai suatu ajaran (paham, doktrin, gagasan, pernyataan atau ucapan, dsb); Paham yang menyatakan bahwa segala sesuatu tidak tetap, melainkan tumbuh dan berubah terus.[12]

Pragmatisme berasal dari kata “Pragma” (bahasa yunani) yang berarti tindakan, perbuatan. Dalam bahasa arab disebut al-mazhab al-‘amali atau mazhab ad-dzar’i-i.[13] Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata.[14]

B. Tokoh-tokoh dan Pokok-Pokok Ajaran Filsafat Pragmatisme

1. Tokoh-tokoh Filsafat Pragmatisme

a. William James (1842-1910)

William James dilahirkan di New York, anak dari Henry James, William James belajar ilmu kedokteran di Havard Medical School pada tahun 1864 dan mendapat M.D-nya tahun 1869, tetapi William tidak tertarik ilmu pengobatan dan menyenangi fungsi alat-alat tubuh kemudian belajar psikologi di Jerman dan Prancis pada tahun 1870. Setelah lulus James mengajar di Universitas Havard, secara berturut-turut mengajar mata kuliah Anatomi, fisiologi, psikologi dan filsafat sampai tahun 1907. Tiga tahun kemudian 1910 James meninggal dunia. Karya-karya James yang terpenting adalah the principles of psychology (1890), the will to believe (1897), Human Immortality (1898), the varietes of religious experience (1902), dan pragmatism (1907).[15]

William James seorang ahli psikologi,[16] namun James tertarik untuk mempelajari filsafat. Ketertarikannya ini didasarkan kepada dua hal yaitu ilmu pengetahuan dan agama. Seorang ilmuwan mempelajari tentang pengobatan akan memikirkannya bagaimana akibat dari hasil pengobatan itu, selanjutnya berusaha menyeleksi dengan kemampuan emosi agamanya.[17]

Pada bidang agama William James menunjukkan karyanya yang berjudul the varieties of religious experience, James mengemukakan bahwa gejala-gejala keagamaan itu berasal dari kebutuhan-kebutuhan perorangan yang tidak disadari. Pengungkapan yang dilakukan seseorang itu berlain-lainan, mungkin pada alam di bawah sadar yang dijumpai pada realitas kosmis yang lebih tinggi. Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang dapat meneguhkan hal tersebut secara mutlak. Bagi seseorang yang memiliki kepercayaan hal itu merupakan realitas kosmis yang tinggi, atau merupakan nilai kebenaran subyektif dan relatif. Ini berarti sepanjang kepercayaan itu memberikan kepada seseorang akan nilai hiburan rohani, penguatan keberanian hidup, perasaan damai, keamanan kasih sesama dan lain-lain. Sesungguhnya nilai agama/pengalaman keagamaan mempunyai nilai yang sama, apabila akibatnya sama-sama memberi kepuasan kepada kebutuhan keagamaan.[18]

Dalam mempelajari filsafat pragmatisme yang dikenalkan oleh Charles Pierce; James berusaha menginterpretasikan dengan sebutan pragmatism: A new name for some old ways of thinking 1907. Kemudian James menulisnya dalam sebuah kritikan yang ditampakkan dalam karyanya the meaning of truth (1909).[19] Dalam memahami kebenaran James mendasarkan pemikirannya pada radical empiricism. Fakta ini dibuat karena adanya pengalaman manusia yang dilakukan terus menerus.[20] Menurut James tidak ada kebenaran mutlak yang berlaku umum ataupun yang bersifat tetap bahkan yang berdiri sendiri lepas dari akal yang mengenal, Karena pengalaman manusia akan terus berjalan dan segala sesuatu yang dianggap benar, namun dalam tahap perkembangannya akan berubah. Ini disebabkan adanya koreksi dari pengalaman-pengalaman berikutnya. Kebenaran yang ada hanyalah kebenaran-kebenaran yang bersifat jamak, artinya benar pada pengalaman-pengalaman khusus akan diubah pada pengalaman berikutnya.[21]

Nilai pertimbangan dalam pragmatisme tergantung pada akibatnya yaitu kepada kerjanya, didasarkan pada keberhasilan dari perbuatan yang disiapkan oleh pertimbangan tersebut. Apabila pertimbangan itu benar, maka akan bermanfaat bagi pelakunya.[22] Oleh karena itu dalam melakukan pertimbangan harus benar-benar terseleksi agar memperoleh manfaat yang diharapkan.

Antara agama dengan filsafat pragmatis diharapkan memberikan rasa ketenangan dan kedamaian. Akibatnya ketika James tertarik kepada ilmu pengetahuan dan agama ini dimaksudkan, bahwa ketika James mempelajari studi pengobatan dengan tendensi materialisme maka berusaha mengecek dengan emosi agama (perasaan agama).[23]

Oleh karena itu James dalam mempelajari agama atau kepercayaan memberikan tiga opsi yang menjadi pilihan, yaitu : pertama ; living or died. Kedua, forced or avoidable dan ketiga momentous or trivial.[24] Opsi yang ditawarkan ini mencoba memberikan sebuah makna kehidupan ini bahwa menjalankan atau mengerjakan sesuatu harus senantiasa memberikan rasa ketenangan. Kenyataan hidup harus dijalani dan dihadapi dengan gigih serta dapat mengambil manfaat terutama bagi dirinya. Karena manusia selamanya tidak akan hidup terus tetapi suatu saat akan menghadapi kematian.

b. John Dewey (1859-1952)

John Dewey lahir di Baltimor, ia salah satu dari generasi pragmatisme yang menghasilkan pemikiran yang hebat setelah James. Dewey menjadi guru besar dalam bidang filsafat dan bidang pendidikan di Chicago (1894-1904) dan akhirnya di Universitas Colombia (1904- 1929).[25]

Bagi John Dewey filsafat bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia serta lingkungannya atau untuk mengatur kehidupan manusia serta aktivitasnya dalam memenuhi kebutuhan manusiawi. Oleh karena itu tidak heran jika John Dewey disebut sebagai tokoh filsafat yang mempunyai karakter yang dinamis yang diwarisi oleh Hegel, yaitu faham dualisme yang berlebih-lebihan seperti antara between mind and body : between necessary and contingent propositions, between cause and effect, between secular and transcendent, namun Dewey lebih suka membuat pandangan baru dengan memperkaya teori-teori dan memahami sebuah fungsi teori itu, dengan demikian Dewey adalah seorang yang anti reduksionis.[26]

Meskipun Dewey seorang pragmatis, tetapi Dewey lebih suka menyebut sistemnya dengan istilah Instrumentalisme. Yang dimaksud Instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam. Cara yang dilakukan adalah dengan menyelidiki bagaimana pikiran fungsi dalam penentuan-penentuan yang berdasarkan pengalaman, mengenai konsekuensi - konsekuensi di masa depan. Salah satu kunci filsafat instrumentalia adalah pengalaman (experience). Filsafat harus berpijak pada pengalaman itu secara aktif dan kritis, agar filsafat dapat menyusun sistem norma-norma dan nilai-nilai.[27]

Filsafat Dewey yang dinamakan dengan Instrumentalisme ini memiliki tiga aspek sebagai alat dalam melahirkan penyelidikan. Di antaranya, pertama “temporalisme” yaitu terdapat gerak kemajuan nyata dalam waktu. Pemikiran kebenaran terus berjalan maju dengan melihat pengalaman yang terus berlangsung. Kedua “futuristic” yaitu mendorong untuk melihat masa depan tidak hari kemarin. Ketiga “milionarisme” bahwa kehidupan dunia ini dapat dibuat lebih baik dengan kemampuan diri manusia, barangkali pandangan yang demikian juga dianut oleh William James.[28]

Instrumentalisme yang dimaksud Dewey adalah ide besar sebagai alat dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang bersifat praktis. Dewey berusaha mengembangkan teori-teori baru tanpa melakukan reduksi dari tokoh-tokoh pragmatis sebelumnya. Ini dilakukan untuk memperoleh bentuk baru dalam kajian filsafat pragmatis.

Oleh karena itu ketika membahas masalah agama atau kepercayaan, Dewey mengakui bahwa semua agama termasuk kepercayaan merupakan sebuah doktrin kebenaran yang tersirat makna intelektual. Ini disebabkan bahwa kepercayaan merupakan pengakuan yang paling hakiki dan sebagai doktrin yang tidak dapat diubah.[29] Di samping itu pengalaman agama seseorang merupakan petunjuk yang diyakini setiap individu.

Meskipun kajian agama menjadi masalah ketika dihadapkan pada sistemnya yaitu instrumentalia, namun bukan menjadi hambatan dalam menghadapi problem ini. Bagaimanapun juga dasar yang digunakan oleh instrumentalia adalah pengalaman. Ini jelas bahwa Dewey mengakui pengalaman seseorang meski itu bersifat mistik atau tidak dapat dibuktikan dengan logika, yang penting akibat dari pengalaman itu dapat memberikan nilai manfaat baginya yaitu ketenangan dan kedamaian.

2. Pokok-Pokok Ajaran Filsafat Pragmatisme

Sesuatu yang penting dalam filsafat pragmatis dan menjadi pegangan adalah logika pengamatan. Oleh karena itu aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat praktis. Meskipun itu pengalaman-pengalaman yang bersifat pribadi, kebenaran mistis, semuanya dapat diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan, dengan syarat membawa akibat praktis yang bermanfaat. Atas dasar inilah maka patokan bagi pragmatisme adalah manfaat bagi hidup praktis.[30] Dasar-dasar yang digunakan dalam filsafat pragmatis adalah dengan menggunakan rumus sebagai berikut ; pertama menolak segala intelektualisme, kedua, absolutisme dan ketiga meremehkan logika formal.[31] Aliran pragmatis menolak intelektualisme, ini berarti juga menentang rasionalisme sebagai sebuah pretensi dan metode. Dengan demikian tidak mempunyai aturan-aturan dan doktrin-doktrin yang menerima metode. Seorang ahli pragmatis Italia bernama Papini mengatakan ; pragmatis adalah ketiadaan dalam teori pragmatis, ibarat seperti sebuah koridor dalam sebuah hotel.[32]

Dasar kedua adalah absolutisme. Pragmatisme tidak mengenal kebenaran yang bersifat mutlak, yang berlaku umum ataupun bersifat tetap bahkan yang berdiri sendiri pun tidak ada. Alasan ini disebabkan adanya pengalaman yang berjalan terus dan segala yang dianggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa akan berubah, karena di dalam prakteknya apa yang dianggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu tidak ada kebenaran yang mutlak, kecuali yang ada adalah kebenaran-kebenaran ( dalam bentuk jamak), artinya apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman yang khusus, yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya.[33]

Pokok ajaran yang terakhir adalah meremehkan logika formal. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa pegangan pragmatisme adalah logika pengamatan, hal ini dapat berupa pengalaman-pengalaman pribadi ataupun pengalaman mistis. Dengan demikian ini berarti bahwa pragmatisme dalam membuat suatu kesimpulan-kesimpulan tidak memiliki aturan-aturan yang tetap yang dapat dijadikan Standard atau ukuran dalam merumuskan suatu kesimpulan. Hukum kebenaran yang terus berjalan ini, maka nilai pertimbangannya adalah akal dan pemikirannya, sementara yang dijadikan sebagai tujuan adalah dalam perbuatannya atau aplikasinya. Proses yang terjadi pada akal dan pemikiran itu harus mampu menyesuaikan dengan kondisi dan situasinya. Sesungguhnya akal dan pemikiran itu menyesuaikan diri dengan tuntutan kehendak dan tuntutan perbuatan.[34]

B. Kredibilitas Aksiologi Terhadap Filsafat Pragmatisme

Kredibilitas aksiologi terhadap filsafat pragmatisme dalam sub bahasan ini adalah kebenaran dari filsafat pragmatisme yang bisa dinilai positif maupun negatifnya.

Sebagaimana yang telah diutarakan pada halaman sebelumnya bahwa, berbicara mengenai aksiologi berarti berbicara mengenai nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang telah dan akan diperoleh, apakah pengetahuan tersebut bernilai baik, buruk, manfaat, mudharat, tahan lama atau periodik dan sebagainya.

Setiap indifidu maupun kelompok memiliki idealism dan pandangan tersendiri dalam menilai sesuatu, dan tidak mustahil jika nilai yang di anggap benar bagi suatu kelompok bernilai salah bagi kelompok lainnya, namun pragmatisme tidak demikian sebab nilai susuatu tergantung dari manfaat praktis yang dihasilkan secara praktis.

Mungkin dengan alasan itulah sehingga dalam buku Epistemologi Pendidikan Islam oleh Mujamil Qomar menegaskan bahwa “Etika tidak diperhatikan dalam tradisi keilmuan barat, sehingga barat mampu mencapai kemajuan sains dan teknologi”.[35]

Berbeda dengan tradisi barat tersebut, tradisi keilmuan islam sejak dini memiliki perhatian besar pada etika. Pada prinsipnya etika diyakini memiliki peran yang besar dalam menuntun perkembangan pengetahuan dan respon masyarakat, sehingga pertimbangan-pertimbangan aksiologi selalu ditempatkan menyertai pertimbangan epistemology, agar disamping mampu mencapai kemajuan juga mampu mempertahankan keutuhan moralitas yang positif.
_______________________________________


BAB III 
PENUTUP


A. KESIMPULAN

Dari beberapa sub bahasan di atas maka dapat di simpulkan bahwa pragmatisme merupakan gerakan filsafat Amerika yang mulai terkenal selama satu abad terakhir. Filosuf yang terkenal sebagai tokoh filsafat pragmatisme adalah William James dan John Dewey.

Aliran filsafat ini merupakan suatu sikap, metode dan filsafat yang memakai akibat-akibat praktis dari pikiran dan kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai kebenaran.

Kebenaran dalam kacamata filsafat pragmatisme diasumsikan sebagai sesuatu dianggap benar jikalau sesuai dengan realita atau sesuatu tersebut memberikan manfaat dan dapat dikerjakan


B. SARAN

Dengan adanya makalah ini diharapkan bisa menjadi referensi mengenai filsafat pragmatism baik dari segi materil terlebih lagi objek forma. Fanatisme terhadap suatu aliran hendaknya tidak menjadikan kita untuk mengetahui pendapat aliran yang lain sebab sikap terhadap satu aliran akan menjadi bomerang bagi diri kita sendiri.

Penilaian terhadap pragmatisme bukan berarti mengkaburkan pemahaman makna praktis yang telah dipopulerkan oleh William James maupun John Dewey, tetapi karena rasa interest terhadap kajian ini, sekalipun penilaian sisi kelebihan dan kekurangan tersebut adalah masih sangat terbatas untuk didiskusikan, karena yang demikian itulah adalah bentuk kesempurnaan pemikiran yang dihasilkan manusia.

Demikian yang dapat kami sampaikan. Kritik dan saran kami harapkan dari semua pihak demi pembenahan makalah kami dan penulisan makalah berikutnya.
____________________________________________

DAFTAR PUSTAKA


Achmadi, Asmoro, Filsafat Umum, (Cet Ke-11, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2010)

A. Wiramihrdja, Sutardjo, Pengantar Filsafat “Sistematika Filsafat, Sejarah Filsafat, Logika dan Filsafat Ilmu (Epistemologi), Metafisika Dan Filsafat Manusia, Aksiologi”, Bandung: Refika Aditama, 2007

Bahtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2004

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia” Edisi. Ketiga” Balai Pustaka. 2000

Daud, Wan Mohd. Nor Wan. The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid Fahmi, et. All dengan judul Filsafat dan Praktik Pendidi-kan Islam Syed M. Naquib al-Attas. Cet. I; Bandung: Mizan, 2003.

Hakim Atang Abdul dan Saebani Ahmad Beni, Filsafat Umum dari Metodologi sampai Teofilosofi, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2008

Hadiwijono, Harun, Sari Filsafat Barat-2, Yogyakarta, Kanisius, 1980

Kattsoff, Louis O. Element of Philosophy diterjemahkan oleh Soejono Soemargono dengan judul Pengantar Filsafat. Cet. V; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992.

Mills, Steve. Credibility. We Build People: http://webuildpeople.ag.org/wbp_library/ 9507_credibility.cfm

Oesman, O. dan Alfian (Ed). Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara. Jakarta: Penerbit BP 7 Pusat, 1990.

Poedjawijatna, I. R, Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, (Jakarta, Rineka Cipta, 2005)

Qomar, Mujamil, Epistemologi Pendidikan Islam “Dari Metode Rasional hingga Metode Kritis”, Jakarta: Erlangga, 2005

Salam, Burhanuddin, Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997)

Sarwan HB, Filsafat Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994.

Titus, H. et.al. Dialihbahasakan oleh H.M. Rasjidi. Persoalan-persoalan Filsafat. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1984.
___________________________________

[1] Oesman dan Alfian. Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara. Jakarta: Penerbit BP 7 Pusat, 1990. h. 57
[2] Titus, H. et.al. Dialihbahasakan oleh H.M. Rasjidi. Persoalan-persoalan Filsafat. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1984. h. 353
[3] Wan Mohd. Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid Fahmi, et. alldengan judul Filsafat dan Praktik Pendidi-kan Islam Syed M. Naquib al-Attas (Cet. I; Bandung: Mizan, 2003), h. 317
[4] Kamus Besar Bahasa Indonesia “Edisi Ketiga” hal. 599
[5]Steve Mills. Credibility. We Build People: http://webuildpeople.ag.org/wbp_library/ 9507_credibility.cfm
[6] Kamus Besar Bahasa Indonesia “Edisi Ketiga”, Op. Cit., hal. 22
[7] Lihat. Burhanuddin Salam. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997)
[8] Louis O. Kattsoff, Element of Philosophy diterjemahkan oleh Soejono Soemargono dengan judul Pengantar Filsafat (Cet. V; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), h. 327.
[9]Sarwan HB, Filsafat Agama (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 22
[10] Kamus Besar Bahasa Indonesia “Edisi Ketiga”, Op. Cit., hal.317
[11] Amsal Bakhtiar. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. hal. 9
[12] Kamus Besar Bahasa Indonesia “Edisi Ketiga”, Op. Cit., hal. 891
[13] Hanafi, Filsafat Barat, Jogjakarta, Mudah, -, h. 84
[14]Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum dari Metodologi sampai Teofilosofi, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2008, h. 319
[15] lihat Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1990), 190. Harun Hadiwijono, Ibid, hlm. 131
[16] lihat Harun Hadiwijono, Sari Filsafat Barat-2, Yogyakarta, Kanisius, 1980, hlm. 131
[17] Lihat Betrand Russel, History Of Western Philosophy (tt, 1945), hlm. 766
[18] Lihat Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika (Bandung : Yayasan Piara, 1997), hlm 116
[19] Lihat Encyclopedia Britanica ( The University Of Chiago, 1952), vi
[20] Lihat Robert C.Solomon, Kathleen M. Higgins, A short History Of Philosophy ( New York : Oxford University Press, 1996), hlm 259
[21] Harun Hadiwijono, op.cit hlm. 132
[22] Juhaya S. Praja, op.cit hlm. 116
[23] Lihat Karl R. Popper, The Logic Of Scientific Discovery (London : Routladge, 1980), hlm. 137
[24] Lihat Daniel J. Bronstein dkk, Basic Problems Of Philosophy (America : The United States Of America, 1964), hal. 488
[25] Juhaya S. Praja, Op. Cit, hlm. 116
[26] Robert C. Salomon, A Short History philosophy, op.cit hlm. 262
[27] Harun Hadiwiyono, Op. Cit, hlm. 134
[28] Juhaya S. Praja, op.cit hlm 117
[29] Daniel J. Bronstein, Basic Problems Of Philosophy (America : The United States Of America, 1964), hlm. 496
[30] Juhaya S. Praja, op.cit hlm 115
[31] Lihat Harun Hadiwijono, op.cit hlm. 131
[32] William James, Pragmatism ( Amerika : New American Library, 19740), hlm 47
[33] Harun Hadiwijono, op.cit hlm. 132
[34] Harun Hadiwijono Ibid, hlm 132
[35] Mujamil Qomar. Epistemologi Pendidikan Islam “Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik” Jakarta: Erlangga. 2005. Hal. 161

Makalah KERAJAAN TURKI UTSMANI (PEMBENTUKAN DAN PERKEMBANGAN PERADABAN)

 
 
 
 BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Dalam sejarah diketahui bahwa islam mengembangkan sayapnya dengan melakukan ekspansi ke negara-negara tetangga. Ekspansi ini bertujuan untuk meperkenalkan Islam dan memajukan Negara-negara yang telah dikuasai.

Islam mengalami kemajuan dan kemunduran, layaknya sebuah roda yang selalu berputar kadang diatas dan kadang berada dibawah. Begitu pun dengan islam, kemajuan kekuasaan Islam yang dicapai pada masa Abbasiyah, dan keruntuhannya ketika diserang bangsa Mongol. Saat itu kekuasaan politik Islam mengalami kemunduran. Wilayah kekuasaan Islam terpecah-pecah kedalam kerajaan kecil yang satu sama lain bahkan saling memusuhi. Tidak berhenti di situ, beberapa peninggalan budaya dan peradaban Islam banyak yang hancur akibat serangan bangsa Mongol, bahkan Timur Lenk menghancurkan pusat-pusat kekuasaan Islam yang lain.[1]

Dalam suasana infreoritas seperti itu, muncul kesadaran politik umat Islam secara kolektif, kesadaran kolektif ini mengalami kemajuan dengan ditandai oleh berdirinya tiga kerajaan besar, Usmani di Turki, Mughal di India, dan Safawi di Persia. Kerajaan Usmani inilah yang paling pertama berdiri dan paling lama bertahan dibandingkan dua lainnya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan menjadi pembahasan dalam makalah ini yaitu:
Bagaimana asal-usul terbentuknya kerajaan Turki Usmani?
Bagaimana kemajuan Kerajaan Turki Usmani? 
Bagaimana kemunduran dan kehancuran kerajan Usmani?
___________________________________________________

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pembentukan Kerajaan Usmani
Asal-usul Terbentuknya

Dalam sejarah Islam tercatat yang berhasil didirikan oleh bangsa Turki, yaitu Turki Saljuk Turki Usmani. Berdirinya Turki Usmani setelah hancurnya Turki Saljuq yang telah berkuasa selama kurang lebih 250 tahun (1055- 1300).[2]

Kerajaan ini didirikan oleh bangsa Turki dari kabilah Oghuz (ughu) yang mendiami daerah Mongol dan daerah Utara Cina, yang kemudian pindah ke Turki, Persia dan Irak. Mereka memeluk Islam kira-kira abad IX atau X, yaitu ketika mereka menetap di Asia tengah. Hal ini karena mereka bertetangga dengan dinasti Samani dan dinasti Ghaznawi, karena tekanan -tekanan bangsa Mongol, mereka mencari perlindungan kepada saudara perempuannya, dinasti Saljuq. Saljuq ketika itu dibawah kekuasaan Sultan Alauddin Kaikobad. Entogrol yang merupakan pimpinan Turki Usmani pada waktu itu berhasil membantu Sultan Saljuq dalam menghadapi Bizantium. Atas jasa inilah ia mendapat penghargaan dari Sultan, berupa sebidang tanah di Asia kecil yang berbatasan dengan Bizantium. Sejak itu mereka terus membina wilayah barunya dan memiliki Syukud sebagai Ibiu kota.[3] Selain itu Entogrol juga diberikan wewenang untuk memperluas wilayahnya.[4]

Setelah Entogrol meninggal, kedudukannya sebagai pimpinan Turki Usmani digantikan oleh anaknya Usman. Dan setelah itu Saljuq mendapat serangan bangsa Mongol, dinasti ini kemudian terpecah menjadi dinasti-dinasti kecil. Pada saat itulah Usman mengklaim kemerdekaan secara penuh wilayah yang didudukinya, yang semula merupakan pemberian Sultan Saljuq sendiri, sekaligus memproklamasikan berdirinya kerajaan Turki Usmani. Inilah asal mula mengapa kemudian diberikan nama dinasti Usmani. Hal ini berarti bahwa putra Ertogrol inilah dianggap sebagai pendiri kerajaan Usmani.[5] Sebagai penguasa pertama, dalam sejarah ia disebut sebagai Usman I. Usman memerintah pada Tahun 1290 M Sampai 1326 M.
Kerajaan Usmani dan Exspansinya

Sebagai sultan I, Usman lebih banyak mencurahkan perhatiannya kepada usaha-usaha untuk memantapkan kekuasaannya dan melindunginya dari segala macam serangan, khususnya Bizantium yang memang ingin menyerang. Exspansinya dimulai dengan menyerang daerah perbatasan Bizantium sanmenaklukan kota Broessa Tahun 1317 M, dan Broessa dijadikan sebagai ibu kota kerajaan.[6]

Putra Usman, Orkhan, memerintah pada tahun 1326-1360 M.[7] Ia membentuk pasukan yang tangguh kemudian dikenal dengan Inkisyariyah (Jannisary)[8] untuk membentengi kekuasaanya. Basis kesatuan ini berasal dari pemuda-pemuda tawanan perang. Kebijakan kemiliteran ini lebih dikembangkan oleh pengganti Orkhan yaitu Murad I dengan membentuk sejumlah korps atau cabang-cabang yennisary. Pembaharuan secara besar-besaran dalam tubuh organisasi militer oleh Orkhan dan Murad I tidak hanya bentuk perombakan personil pemimpinnya, tetapi juga dalam keanggotaanya. Seluruh pasukan militer dididik dan dilatih dalam asrama militer dengan pembekalan semangat perjuangan Islam. Kekuatan militer Yennisary berhasil mengubah Negara Usmany yang baru lahir ini menjadi mesin perang yang paling kuat dan memberikan dorongan yang besar sekali bagi penaklukan negeri-negeri non Muslim.[9] Pada masa Orkhan inilah dimulai usaha perluasan wilayah yang lebih agresip dibanding pada masa Usman. Dengan mengandalkan jennisary, Orkhan dapat menaklukan Azmir (Smirna) tahun 1327 M, Thawasyanly (1330 M), Uskandar (1338 M), Ankara (1354 M) dan Gallipoli (1356 M). Daerah-daerah ini merupakan bagian benua Eropa yang pertama kali diduduki oleh kerajaan Usmani.[10]

Ekspansi yang lebih besar lagi terjadi pada masa ini meliputi daerah Balkan, Andrinopel, Mesodonia, Sofia (Bulgaria), dan seluruh wilayah yunani. Andrinopel kemudian dijadikan sebagai ibu kota kerajaan yang baru.

Setelah Murad I tewas dalam pertempura melawan pasukan Kristen, ekspansi berikutnya dilanjutkan oleh putranya Bayazid I. Pada tahun 1391 M. Pasukan Bayazid I apat merebut benteng Philladelpia dan Gramania atau Kirman (Iran). Dengan demikian kerajaan Usmani secara bertahap menjadi suatu kerajaan besar.[11] Suatu hal yang sangat disayangkan bahwa Bayazid I tewas dalam pertempuran melawan timur lenk. Tewasnya bayasid I dan sebagian besar pasukannya melawan hamper seluruh wilaya Usmani jatu ketangan Timur Lenk.

Kerjaan Usmani bangkit kembali pada masa pemerintahan Murad II. Ia digelari Al-Fatih (Sang Penakluk) karena pada masanya ekspansi Islam berlangsung secara besar-besaran. Kota penting yang berhasil ditaklukkan adalah Konstantinopel pada tahun 1453. Dengan demikian usaha menaklukkan Isalam atas kerajaan Romawi Timur yang dimulai sejak zaman Umar Bin Khattab telah tercapai. Konstantinopel dijadikan ibu kita kerajaan dan namanya diubah menjadi Istanbul (Tahta Isalm). Kejatuhan Konstantinopel memudahkan tentara Usmani menaklukkan wilaya lainnya seperti Serbia, Albania dan Hongaria.[12]

Sekalipun Konstatinopel telah jatuh di tangan Usmani dibawa kekuasaan Muhammad Al-Fatih, namun umat Kristen sebagai pendudduk asli daerah tersebut tetap diberikan kebebasan beragama. Bahkan merekadibiarkan memilih ketua-ketua dilantik oleh Sultan.[13]

Setelah Muhammad Al-Fatih meninggal, Ia digantikan Bayazid II.[14] Ia lebih mementingkan kehidupan tasawuf daripada berperang. Kelemahannya di bidang pemerintahan yang cenderung berdamai dengan musuh mengakibatkan Ia tidak ditaati oleh rakyatnya, termasuk putra-putranya. Karena seringnya terjadi perselisihan yang panjang antara dia dan putra-putranya, akhirnya Ia mengundurkan diri dan diganti putranya, Salim I pada tahun 1512 M. Pada masa Sultan Salim I pada tahu 1517 M. Gelar Khalifah yang disandang oleh Al-Mutawakki alaa llah, salah seorang keturunan Banii Abbas yang selamat dari Bangsa mongol tahun 1235 M. dan saat itu berada dalam proteksi makhluk diambil alih oleh Sultan. Engan demikian pada masa Sultan Salim ini para Sultan Usmani menyandang dua gelar, yaitu gelar Sultan dan gelar Khalifah. Sehingga nama Sultan Salim pun mulai disebutkan dalam khutbah-khubah. Selain itu ia pun dalam masa pemerintahannya selama 8 tahun menjadi penguasa dan pelindung 2 buah kota suci yaitu Mekkah dan Madinah.[15]

Puncak kerajaan Turki Usmani dicapai pada masa pemerintahan Sulaeman I. Ia digelari Al-Qanuni, karena ia berhasil membuat undan-undan yang mengatur masyarakat. Orang, barat menyebunya sebagai Sulaeman yang agung, the magnificien. Ia menyebut dirinya sultan dari segala sultan, raja dari segala raja, pemberian anigra mahkota bagi para raja. Pada masanya wilayahnya meliputi dataran Eropa hingga Austria, Mesir dan Afrika Utara hingga ke Aljazair dan Asia hingga Persia, serta meliputi lautan Hindia, Laut Arabia, Laut merah, Laut tengah,dan Laut Hitam.

Untuk lebih jelasnya penulis akan menyebutkan priode-priode kesultanan pada masa kerajaan Turki Usmani. Dalam bukunya DR. Syafiq A. Mugani membagi menjadi 5 (Lima) priode yakni priode I pada tahun 1299-1402 M. priode ke II pada tahun 1402-1566 M, priode ke III 1566-1699 M, priode ke IV pada tahun 1699-1839 M dan priode ke V pada tahun 1839-1922 M.[16]

1. Priode pertama, Sultan-sultannya ialah

- Usman I (1299-1326 M.),

- Orkhan (1326-1359 M.),

- Murad I (1359- 1389 M.) dan

- Bayazid I (1389-1402 M.)

2. Priode ke dua, Sultan-sultannya ialah

- Muhammad I (14033-1421 M.),

- Murad II (1421-1451 M.),

- Muhammad II fath (1451-1481 M.),

- Bayazid II (1481-1512 M.),

- Salim II (1512-1520 M.) dan

- Sulaeman I Qanuni (1520-1566 M.)

3. Priode ke tiga, Sultan-sultannya ialah

- Salim II (1566-1699 M.),

- Murad III (1573-1596 M.),

- Muhammad III (1596-1603 M.),

- Ahmad I (1603-1617 M.),

- Mustafa I (1617-1618 M.),

- Usman II (1618-1622M.),

- Mustafa I yang kedua kalinya (1622-1623 M.),

- Murad IV (1623-1640 M.),

- Ibrahim I (1640-1648 M.),

- Muhammad IV (1648-1687 M.),

- Sulaeman III (1687-1691 M.),

- Ahmad II (1691- 1695 M.) dan

- Mustafa II (1695-1703 M.).

4. Priode ke empat, Sultan-sultannya ialah

- Ahmad III (1703-1730 M.),

- Mahmud I (1730-1754 M.),

- Usman III (1754-1757 M.),

- Mustafa III (1757-1774 M.),

- Abdul Hamid I (1774-1788 M.),

- Salim III (1789-1807 M.),

- Mustafa IV (1807-1808 M.) dan

- Mahmud II (1808-1839 M.).

5. Priode ke lima, Sultan-sultannya ialah

- Abdul Majid I (1839-1861 M.),

- Abdul Azis (1861-1876 M.),

- Murad V (1876 M.),

- Abdul Hamid II (1876- 1909 M.),

- Muhammad V (1909- 1918 M.),

- Muhammad VI (1918- 1922 M.) dan

- Abdul Majid II (1922- 1924 M).[17]

Kerajaan Turki Usmani mulai melemah semejak meninggalnya Sulaeman Al Qanuni. Para pemimpin lemah dan pada umumnya tidak berwibawah. Selain itu para pembesar kerajaan hidup dalam kemewahan sehingga sering terjadi penyimpangan keuangan Negara. Sekalipun demikian serangan Eropa masih terus berlangsung terutama penaklukan terhadap kota Wina di Australia. Usaha penaklukan ini ternyata juga tidak berhasil.

B. Kemajuan-kemajuan Turki Usmani

Perkembangan ekspansi Turki Usmani yang sangat luas diikuti dengan kemajuan-kemajuan diberbagai bidang, seperti:
Bidang kemiliteran dan pemerintahan

Salah satu yang menentukan keberhasilan ekspansi Usmani adalah keberanian, keterampilan, ketangguhan dan kekuatan militernya yang sanggup bertempur di mana saja dan kapan saja. Hal ini karena tabiat bangsa Turki sendiri yang bersifat militer berdisiplin dan patuh terhadap aturan.

Selain itu, keberhasilan ekspansinya juga didukung oleh terciptanya jaringan pemerintahan yang teratur. Dalam struktur pemerintahan, Sultan sebagai penguasa tertinggi dibantu oleh Shadr al-Azham (perdana menteri) yang membawahi pasya (gubernur). Di bawah gubernur yerdapat al-Awaliyah (bupati).[18]

Untuk mengatur pemerintahan urusan Negara dibentuk undang-undang (qanun) pada masa Sulaeman I, yang disebut Multaqa al- Abhur.[19] Undang-undang ini menjadi pegangan hukum bagi Turki Usmani sampai datangnya reformasi pada abad 19. Undang-undang ini memiliki arati historis yang sangat penting karena merupakan undang-undang pertama di dunia.
Bidang Ilmu Pengetahuan dan Budaya

Walaupun pengembangan ilmu pengetahuan tidak mendapat perhatian besar Usmani, namun mereka mengembangkan seni arsitektur berupa bangunan Masjid yang indah, misalnya masjid Al-Muhammadi atau masjid Jami’ Sultan Muhammad Al-Fatih, masjid agung Sulaeman dan masjid Ayyub al-Ansari, masjid al- Ansari merupakan sebuah masjid yang semula adalah gereja Aya Shopia. Kesemua masjid ini dihiasi dengan kaligrafi yang indah.[20]

Pada masa Sulaeman banyak dibangun masjid, sekolah, rumah sakit, gedung-gedung, pemakaman, saluran air, filla dan permandian umum terutama dikota-kota besar. Disebutkan bahwa 235 buah dari bangunan itu dibangun di bawah kordinator Hojasinan. Seorang arsitek asal Anatolia.[21]

Kemajuan dibidang intelektual pada masa pemerintahan Turki Usmani tidak begitu menonjol, adapun aspek-aspek intelektual yang dicapai yaitu:

a. Terdapat dua buah surat kabar yang muncul pada masa itu, yaitu berita harian terkini Feka (1831) dan jurnal Tasfiri efkyar (1862) dan terjukani ahfal (1860).

b. Terjadi tranfomasi pendidikan, dengan mendirikan sekolah-sekolah dasar dan menengah (1881) dan perguruan tinggi (1869), juga mendirikan Fakultas kedokteran dan fakultas Hukum. Disamping itu para belajar yang berprestasi dikirim keprancis untuk melanjutkan studinya, yang sebelumnya itu tidak pernah terjadi.[22]
Bidang keagamaan

Dalam tradisi, Agama memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial dan politik. Pihak penguasa sangat terikat dengan syariat Islam sehingga fatwa Ulama menjadi hukum yang berlaku. Mufti sebagi pejabat urusan Agama tertinggi berwenan memberi fatwa resmi terhadap problem keagamaan. Tanpa legitimasi Mufti keputusan hukum kerajaan tidak bisa berjalan. Pada masa ini kegiatan terus berkembang pesat. Al-bektasi dan Al-maulawi merupakan dua aliran tarekat yang paling besar. Tarekat bektasi sangat berpengaruh terhadap kalangan tentara sehingga mereka sering disebut tentara bektasi Yennisari. Sementara tarekat maulawi berpengaruh besar dan mendapat dukungan dari penguasa dalam mengimbangi yennisari bektasi. Ilmu pengetahuan seperti fikhi, tafsir, kalam dan lain-lain, tidak mengalami perkembangan. Kebanyakan penguasa Usmani cenderung bersikap taklid dan fanatik terhadap suatu mazhab dan menentang mazhab-mazhab lainnya.[23]

Menurut Ajid Tahir dalam bukunya menyebutkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan sehingga Turki Usmani memperoleh kemajuan antara lain :

a. Adanya sistem pemberian hadiah berupa tanah kepada tentara yang berjasa ,

b. Tidak adanya diskriminasi dari pihak penguasa,

c. Kepengurusan organisasi yang cakap,

d. Pihak Turki memberikan perlakuan baik terhadap saudara-saudara baru dan memberikan kepada mereka hak rakyat secara penuh,

e. Turki telah menggunakan tenaga-tenaga profesional dan terampil,

f. Kedudukan sosial orang-orang Turki telah menrik minat penduduk negeri-negeri Balkan untuk memeluk agama Islam,

g. Rakyat memeluk agama Kristen hanya dibebani biaya perlindungan (jizyah) yang relatife murah dibandingkan pada masa Bizantium,

h. Semua penduduk memperoleh kebebasan untuk menjalankan kepercayaannya masing-masing dan

i. Karena Turki tidak fanatik agama, wilayah-wilayah Turki menjadi tempat perlindungan orang-orang Yahudi dari serangan kerajaan Kristen di Spanyol dan Portugal pada abad XVI.[24]

C. Kemunduran dan Kehancuran Turki Usmani

Pemerintahan sultan Turki yang ke X, yaitu Sulaeman I (1520-1566) merupakan masa pemerintahan terpanjang dibangdingkan dengan Sultan-Sultan lainnya. Selama pemerintahannya berhasil meraih kesuksesan dengan masuknya beberapa wilayah Negara besar Turki. Bahkan mempersatukan umat Islam dengan non Muslim di bawah kekuasaannya. Namun disisi lain tanda-tanda keruntuhan juga sudah mulai muncul kepermukaan. Pandangan tersebut lebih disebabkan oleh ketergantungan kerajaan ini kepada kesinambungan kekuatan politik seorang Sultan.[25]

Periode keruntuhan kerajaan Turki Usamani termanifestasi dalam dua priode yang berbeda pula, yaitu : pertama, priode desentrallisasi yang dimulai pada awal pemeritahan Sulatan Salim II (1566-1574) hingga tahun 1683 ketika angkatan bersenjata Turki Usmani gagal dalam merebut kota Fiena untuk kedua kalinya. Kedua, priode dekompresi yang terjadi dengan munculnya anarki internal yang dipadukan denagn lepasnya wilayah taklukan satu per satu.

Pada abad ke 16 kelompok derfisme[26] telah menjadi kelompok yang solid dan mendominasi kekuatan politik bahkan menggeser posisi para aristoerat Turki tua.[27] Namun pada prkembangan selanjutnya terjadi konflik intern yang menyebabkan mereka berkotak-kotak dan terjebak dalam politik praktis. Mereka mengkondisikan Sultan agar lebih suka tinggal menghabiskan waktunya di Istana Keputren ketimbang urusan pemerintahan, agar tidak terlibat langsung dalam intrik-intrik politik yang mereka rancang.[28]

Dengan mengeploitasi posisinya dimata penguasa terhadap rakyat mereka memanipulasi pajak dengan kewajiban tambahan kepada petani, akibatnya banyak penduduk yang berusaha untuk masuk ke dalam korp Jannisari. Hal ini mengakibatkan membengkaknya jumlah keanggotaan Jannisari yang hingga pertengahan abad ketujuh belas mencapai jumlah 200.000 orang.[29]

Faktor-Faktor penyebab hancurnya Turki Usmani.

Untuk menentukan faktor penyebab utama kehancuran kerajaan Turki Usmani merupakan persoalan yang tidak mudah. Dalam sejarah lima abad akhir abad ke tiga belas sampai abad ke Sembilan belas Kerajaan Turki Usmani merupakan sebuah proses sejarah panjang yang tidak terjadi secara tiba-tiba.

Mengamati sejarah keruntuhan Kerajaan Turki Usmani, dalam bukunya Syafiq A. Mughani melihat tiga hal kehancuran Turki Usmani, yaitu melemahnya sistem birokrasi dan kekuatan militer Turki Usmani, kehancuran perekonomian kerajaan dan munculnya kekuatan baru di daratan Eropa serta serangan balik terhadap Turki Usmani.

1. Kelemahan para Sultan dan sistem birokrasi

Ketergantungan sistem birokrasi sultan Usmani kepada kemampuan seorang sultan dalam mengendalikan pemerintahan menjadikan institusi politik ini menjadi rentang terhadap kejatuhan kerajaan. Seorang sultan yang cukup lemah cukup membuat peluang bagi degradasi politik di kerajaan Turki Usmani. Ketika terjadi benturan kepentingan di kalangan elit politik maka dengan mudah mereka berkotak-kotak dan terjebak dalam sebuah perjuangan politik yang tidak berarti. Masing-masing kelompok membuat kualisi dengan janji kemakmuran, Sultan dikondisikan dengan lebih suka menghabiskan waktunya di istana dibanding urusan pemerintahan agar tidak terlibat langsung dalam intrik-intrik politik yang mereka rancang. Pelimpahan wewenan kekuasaan pada perdan menteri untuk mengendalikan roda pemerintahan. Praktik money politik di kalangan elit, pertukaran penjagaan wilayah perbatasan dari pasukan kefelerike tangan pasukan inpantri serta meluasnya beberapa pemberontakan oleh korp Jarrisari untuk menggulingkan kekuasaan merupakan ketidak berdayaan sultan dan kelemahan sistem birokrasi yang mewarnai perjalanan kerajaan Turki Usmani.

2. Kemerosotan kondisi sosial ekonomi

Perubahan mendasar terjadi terjadi pada jumlah penduduk kerajaan sebagaimana terjadi pada struktur ekonomi dan keuangan. Kerajaan akhirnya menghadapi problem internal sebagai dampak pertumbuhan perdagangan dan ekonomi internasional. Kemampuan kerajaan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri mulai melemah, pada saat bangsa Eropa telah mengembangkan struktur kekuatan ekonomi dan keuangan bagi kepentingan mereka sendiri.[30] Perubahan politik dan kependudukan saling bersinggungan dengan perubahan penting di bidang ekonomi. Esentralisasi kekuasaan dan munculnya pengaruh pejabat daerah memberikan konstribusi bagi runtuhnya ekonomi tradisional kerajaan Turki Usmani.

3. Munculnya kekuatan Eropa

Munculnya politik baru di daratan Eropa dapat dianaggap secara umum faktor yang mempercepat proses keruntuhan kerajaan Turki Usmani.[31] Konfrontasi langsung pada dengan kekuatan Eropa berawal pada abad ke XVI, ketika masing-masing kekuatan ekonomi berusaha mengatur tata ekonomi dunia. Ketika kerajaan Usmani sibuk membenahi Negara dan masyarakat, bangsa Eropa malah menggalang militer, Ekonomi dan tekhnologi dan mengambil mamfaat dari kelemahan kerajaan Turki Usmani.

Faktor-faktor keruntuhan Kerajaan Turki Usmanin dapat dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu: secara internal dan eksternal, secara internal, yaitu:

- Luasnya wilayah kekuasaan dan buruknya sistem pemerintahan yang ditangani oleh orang-orang berikutnya yang tidak cakap, hilangnya keadilan, merajalelanya korupsi dan meningkatnya kriminalitas, merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap keruntuhan kerajaan Usmani,

- Heterogenitas penduduk dan agama,

- Kehidupan yang istimewa dan bermegahan dan

- Merosotnya perekonomian Negara akibat peperangan Turki mengalami kekalahan.

Secara eksternal, yaitu:

- Timbulnya gerakan nasionalisme, bangsa-bangsa yang tunduk pada kerajaan Turki berkuasa, mulai menyadari kelemahan dinasti tersebut,

- Terjadinya kemajuan tekhnologi di Baratn, khususnya dalam bidang persenjataan. Sedangkan Turki mengalami stagnasi Ilmu pengetahuan sehingga jika terjadi perang, Turki selalu mengalami kekalahan.[32]

Perang dunia pertama melengkapi proses kehancuran kerajaan Turki Usmani, pada bulan desember 1914, Turki Usmani melibatkan diri dalam perang dunia dan berada di pihak Jerman dan Austria. Bantuan militer dan ekonomi Jerman, kekuatan terhadap kekuatan Rusia serta keinginan keinginan untuk menyelamatkan kendali Turki Usmani menjadi alas an ketelibatan Turki dalam peristiwa tersebut. Pada tahun 1918, aliansi bangsa-bansa Eropa mengalahkan aliansi militer Jerman, Turki dan Austria. Memasuki tahun 1920, kerajaanTurki Usmani kehilangan keseluruhan propinsi yang ada di semenanjung Baalka, Mesir menjadi kemudian Negara protektorat Inggris dan bebas secara total dari kekuasaan kerajaan Turki Usmani.
_______________________________________________

BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, pembahasan tentang krajaan Turki Usmani, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Turki Usmani merupakan slah satu kerajaan yang didirikan oleh bangsa Turki setelah runtuhnya kerajaan Turki Saljuq. Entogrol adalah pembuka jalan berdirinya Turki Usmani putranya Usman sebagai proklamator Kerajaan Turki Usmani tahun 1300M. Turki Usmani adalah salah satu dari tiga kerajaan islam yang muncul setelah jatuhnya Baghdad.

2. Kemajuan Turki Usmani dapat dilihat dari bidang kemiliteran dan pemerintahan, terbukti bahwa kekuatan militer Usmani adalah salah satu faktor sangat yang menentukan keberhasilan ekspansi Turki Usmani, kemajuan lain yang dapat dilihat yaitu: kemajuan dalam bidang budaya khususnya bangunan fisik. Di bidang Ilmu pengetahuan kemajuan Usmani tidak begitu menonjol dibandingkan kemajuan di bidang lainnya, sehingga tidak seorang pun ilmuan Islam yang diklaim sebagai produk dari Turki Usmani.

3. Kemunduran dan kehancuran Turki Usmani disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: kelemahan para sultan dan sistem birokrasi, kemerosotan ekonomi dan munculnya kekuata Eropa. Peran Turki tidak dapat dikesampingkan, karena dengan luasnya daerah kekuasaan yang membentang dari Asia hingga Eropa dalam rentang waktu yang relatif lama, lebih dari enam abad, maka terjadilah intraksi peradabandengan berbagai wilayah yang berada di bawah kekuasaan Turki dan saling mempengaruhi, sehingga peradaban yang lebih kuat banyak memberikan pengaruh terhadap peradaban yang lebih lemah.
____________________________________________________


DATAR PUSTAKA


Ali, K. A, Study Of Islamic History, Diterjemahkan Oleh Ghufron A. Mas adi, Sejarah Islam: Tarikh Pramodern. ( Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.

Black, Anthony, The History Of Islamic Political Though rom The Prophet To The Present, Dialihbahasakan oleh Abdullah Ali. Jakarta: Jakarta: Seranbi Ilmu Semesta, 2006.

Hitti, Phillip, K. History Of The Arabs ; rom Earliest Times To The Present, Dialihbahasakan oleh Cecep Lukman, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006.

Ibrahim, Hassan, Islamic History And Culture. Dialihbahasakan oleh Djahdan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Kot Kembang, 1989.

Mahmudunassir, Islam; Konsepsi Dan Sejarah, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.

Mughani, Syafik, A, Sejarah Kebudayaan Islam Di Turki, Cet. I; Jakarta: Logos, 1997.

Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam, Melacak Akar-Akar Sejarah, Sosial Politik Dan Budaya Ummat Islam, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Yatim, Badri, Sejarah Dan Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Gra indo Persada, 2001.

____________________________________________________
[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta: PT. Raja Graindo Persada, 1997), h.129.


[2] Syafik A. Mughani, Sejarah kebudayaan Islam Di Turki, (Cet. I; Jakarta: Logos, 1997), h. 52.
[3] Badri Yatim, op. Cit., h. 130.
[4] K. Ali, A Study of Islamic History, Diterjemahkan oleh Ghufron A. Mas’adi, Sejarah Islam, Tarikh Pramodern, ( Cet. III; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h.361.
[5] Badri Yatim, op. Cit., h. 130.
[6] Syafik A. Mughani, op. Cit., h. 54.
[7] Hassan Ibrahim Hassan, Islamic History And Culture, Diterjemahkan oleh Djahdan Human, Sejarah Dan Kebudayaan Islam, ( Cet. I; Yogyakarta: 1989), h. 327.
[8] Jannisary artinya organisasi militer baru, yaitu pengawal elite dari pasukan turki yang kemudian dihapuskan pada tahun 1826.
[9] Mahmudunnasir, Islam Konsepsi Dan Sejarahnya, ( Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994), h. 376.
[10] Badri Yatim, op. Cit., h. 130-131.
[11] Ibid., h. 141.
[12] Syafik A, Mughani, op. Cit., h. 59-60.
[13] Ibid., h. 59.
[14]Ibid., h. 60.
[15] Hasan Ibrahim Hasan, op.,cit., h. 333.
[16] Syafiq A. Mughani, op. Cit., h. 54.
[17] Ibid. h. 54-66.
[18] Badri Yatim, op. Cit. h.135.
[19] Phillip K. Hitti, History ofThe Arabs; from the Earliest Times To The Present, dialih bahasakan oleh Cecep Lukman, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 911.
[20] Ajid Thahir, Perkembangan Peradaban Di Kawasan dunia Isalam, Melacak Akar-Akar Sejarah Sosial, Politik an Budaya Islam, (Jakarata: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h.185.
[21] Badri yatim op cit. h. 136.
[22] Ajid Tahir , op. cit. h.187-188
[23] Badri Yatim, op. cit., h. 137.
[24] Ajid Thahir, op. cit. h. 189-190.
[25] Syafik A.Mughani, op. cit. h.93.
[26] Derfisme merpakan sistem rekrutmen dan pelatihan dari pada keluarga penguasa ( ruling class) sebelum mereke menjadi pejabat dikerajaan Turki Usamni
[27] Syafiq A. Mughani, op. cit. h. 93.
[28] Ibid., h. 94.
[29] Ibid., h. 95.
[30] Ibid., h. 104.
[31] Ibid., h. 112.
[32] Ajid Thahir, op. cit., h. i91-192.