Load more

KREDIBILITAS AKSIOLOGI TERHADAP FILSAFAT PRAGMATISME




BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Amerika, dan terutama negara-negara Barat lainnya boleh kita akui sampai saat ini merupakan negara adidaya, adikuasa atau pun super power, dengan berbagai macam kemajuan yang dicapai selama kurang lebih tiga abad terakhir. Kemajuan yang dimiliki Amerika memang bisa diakui menjadi poros negara belahan dunia untuk mengkaji dan mengikuti teori yang selama ini dijadikan acuan oleh negara adidaya tersebut. Mengapa Amerika yang disinggung? Karena filsafat pragmatisme lahir dan berkembang satu abad yang lalu di Amerika dan di klaim sebagai filsafat khas Amerika. Kemajuan yang dicapai Amerika dari beberapa segi tidak terlepas dari pengaruh filsafat pragmatisme yang di amininya selama ini.

Pragmatisme merupakan gerakan filsafat Amerika yang mulai terkenal selama satu abad terakhir. Aliran filsafat ini merupakan suatu sikap, metode dan filsafat yang memakai akibat-akibat praktis dari pikiran dan kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai kebenaran.

Pragmatisme sudah banyak dibicarakan oleh para penulis, baik dilihat sebagai aliran pemikiran filsafat, maupun sebagai strategi pemecahaan masalah yang bersifat praktis. Pragmatisme juga dikenal sebagai sikap dan metode yang lebih menekankan pada akibat dan kegunaan setiap konsep atau gagasan daripada berputar-putar dengan masalah metafisis-filosofis. Sehingga paham ini memiliki karakteristik yang membedakannya dari paham-paham lainnya. Respons terhadap paham ini bermacam-macam. Banyak yang mendukung dan banyak pula yang menentangnya. Kesan negatif terhadap paham ini muncul antara lain karena paham ini dinilai enggan dengan kerewelan (perdebatan) filosofis yang tiada henti, enggan mendiskusikan asumsi-asumsi dasar, persepsi dan nilai-nilai yang mendasar, dan cenderung langsung turun pada perencanaan praktis.[1]

Meskipun demikian, dilihat dari sisi yang lain, pragmatisme dinilai positif, karena dapat membawa teori ke medan praktis, berupaya menurunkan filsafat ke tanah (membumi) dan menghadapi masalah-masalah yang hidup sekarang. Dengan ungkapan lain, pragmatisme berusaha untuk membumikan filsafat agar dapat digunakan untuk memecahkan masalah keseharian di sekitar kita, sebagaimana dikemukakan oleh Dewey, bahwa filsafat pragmatisme bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia serta aktivitasnya untuk memenuhi kebutuhan manusiawi.[2]

Aksiologi sebagai bagian penting lainnya dari filsafat berbicara tentang hakekat nilai, baik nilai etis maupun nilai estetis, yang jika dikaitkan dengan filsafat pragmatisme tentu akan menghasilkan tanda tanya akan nilai dari filsafat pragmatisme yang menjadi nilai tersendiri yang dapat dipercayai.

Pakar filsafat pendidikan Islam seperti Syed Naquib al-Attas menyatakan bahwa ilmu pengetahuan modern tidak bebas nilai, ia netral sebab dipengaruhi oleh pandangan-pandangan keagamaan, kebudayaan, dan filsafat. Oleh karena itu umat Islam perlu mengislamisasikan ilmu.[3] Pernyataan al-Attas tersebut bahwa ilmu bebas nilai mengindikasikan adanya aksiologi, yakni pertimbangan nilai dalam ilmu pengetahuan. Ilmu apapun namanya, jika ia diletakkan dalam wadah yang islami, maka ilmu tersebut adalah “ilmu Islam” dan di luar itu tidak islami.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakan di atas, penulis dapat merumuskan beberapa permasalahan yang akan menjadi topik utama pembahasan dalam makalah ini, yaitu:

1. Apa pengertian kredibilitas, aksiologi, dan filsafat pragmatisme?

2. Tokoh-tokoh dan Pokok-Pokok Ajaran Filsafat Pragmatisme

3. Bagaimana kredibilitas aksiologi terhadap filsafat pragmatisme?


BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Kredibilitas, Aksiologi, dan Filsafat Pragmatisme

Sebelum lebih jauh mengkaji makalah ini ada baiknya jika penulis memaparkan beberapa pengertian dari judul untuk menghindari kekeliruan dalam memahami maksud dari makalah ini, berikut beberapa pengertian dari buku referensi yang penulis gunakan:

1. Kredibilitas

Kre.di.bi.li.tas /kredibilitas _ perihal dapat dipercaya[4]

Kredibilitas adalah alasan yang masuk akal untuk bisa dipercayai. Seorang yang memiliki kredibilitas berarti dapat dipercayai, dalam arti kita bisa mempercayai karakter dan kemampuannya. Sokrates mengatakan, "Kunci utama untuk kejayaan adalah membuat apa yang nampak dari diri kita menjadi kenyataan.[5]

2. Aksiologi

Kegunaan ilmu pegetahuan bagi kehidupan manusia[6]

Secara etimologi, aksiologi berasal dari perkataan “axios” (Yunani) yang berarti “nilai”, dan “logos” berarti “teori” jadi aksiologi adalah teori tentang nilai.[7]

Secara istilah, aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan.[8] Sejalan dengan itu, Sarwan menyatakan bahwa aksiologi adalah studi tentang hakikat tertinggi, realitas, dan arti dari nilai-nilai (kebaikan, keindahan, dan kebenaran).[9] Dengan demikian aksiologi adalah studi tentang hakikat tertinggi dari nilai-nilai etika dan estetika. Dengan kata lain, apakah yang baik atau bagus itu.

3. Filsafat

Pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya.[10]

Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu: philosophy, adapun istilah filsafat berasal dari istilah Yunani: philosophia, yang terdiri atas dua kata: philos(cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan sophos (‘hikmah’, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi). Jadi, secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran (love of wisdom) Orangnya disebut filosof yang dalam bahas Arab disebut failasuf.[11]

4. Pragmatisme

Kepercayaan bahwa kebenaran atau nilai suatu ajaran (paham, doktrin, gagasan, pernyataan atau ucapan, dsb); Paham yang menyatakan bahwa segala sesuatu tidak tetap, melainkan tumbuh dan berubah terus.[12]

Pragmatisme berasal dari kata “Pragma” (bahasa yunani) yang berarti tindakan, perbuatan. Dalam bahasa arab disebut al-mazhab al-‘amali atau mazhab ad-dzar’i-i.[13] Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata.[14]

B. Tokoh-tokoh dan Pokok-Pokok Ajaran Filsafat Pragmatisme

1. Tokoh-tokoh Filsafat Pragmatisme

a. William James (1842-1910)

William James dilahirkan di New York, anak dari Henry James, William James belajar ilmu kedokteran di Havard Medical School pada tahun 1864 dan mendapat M.D-nya tahun 1869, tetapi William tidak tertarik ilmu pengobatan dan menyenangi fungsi alat-alat tubuh kemudian belajar psikologi di Jerman dan Prancis pada tahun 1870. Setelah lulus James mengajar di Universitas Havard, secara berturut-turut mengajar mata kuliah Anatomi, fisiologi, psikologi dan filsafat sampai tahun 1907. Tiga tahun kemudian 1910 James meninggal dunia. Karya-karya James yang terpenting adalah the principles of psychology (1890), the will to believe (1897), Human Immortality (1898), the varietes of religious experience (1902), dan pragmatism (1907).[15]

William James seorang ahli psikologi,[16] namun James tertarik untuk mempelajari filsafat. Ketertarikannya ini didasarkan kepada dua hal yaitu ilmu pengetahuan dan agama. Seorang ilmuwan mempelajari tentang pengobatan akan memikirkannya bagaimana akibat dari hasil pengobatan itu, selanjutnya berusaha menyeleksi dengan kemampuan emosi agamanya.[17]

Pada bidang agama William James menunjukkan karyanya yang berjudul the varieties of religious experience, James mengemukakan bahwa gejala-gejala keagamaan itu berasal dari kebutuhan-kebutuhan perorangan yang tidak disadari. Pengungkapan yang dilakukan seseorang itu berlain-lainan, mungkin pada alam di bawah sadar yang dijumpai pada realitas kosmis yang lebih tinggi. Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang dapat meneguhkan hal tersebut secara mutlak. Bagi seseorang yang memiliki kepercayaan hal itu merupakan realitas kosmis yang tinggi, atau merupakan nilai kebenaran subyektif dan relatif. Ini berarti sepanjang kepercayaan itu memberikan kepada seseorang akan nilai hiburan rohani, penguatan keberanian hidup, perasaan damai, keamanan kasih sesama dan lain-lain. Sesungguhnya nilai agama/pengalaman keagamaan mempunyai nilai yang sama, apabila akibatnya sama-sama memberi kepuasan kepada kebutuhan keagamaan.[18]

Dalam mempelajari filsafat pragmatisme yang dikenalkan oleh Charles Pierce; James berusaha menginterpretasikan dengan sebutan pragmatism: A new name for some old ways of thinking 1907. Kemudian James menulisnya dalam sebuah kritikan yang ditampakkan dalam karyanya the meaning of truth (1909).[19] Dalam memahami kebenaran James mendasarkan pemikirannya pada radical empiricism. Fakta ini dibuat karena adanya pengalaman manusia yang dilakukan terus menerus.[20] Menurut James tidak ada kebenaran mutlak yang berlaku umum ataupun yang bersifat tetap bahkan yang berdiri sendiri lepas dari akal yang mengenal, Karena pengalaman manusia akan terus berjalan dan segala sesuatu yang dianggap benar, namun dalam tahap perkembangannya akan berubah. Ini disebabkan adanya koreksi dari pengalaman-pengalaman berikutnya. Kebenaran yang ada hanyalah kebenaran-kebenaran yang bersifat jamak, artinya benar pada pengalaman-pengalaman khusus akan diubah pada pengalaman berikutnya.[21]

Nilai pertimbangan dalam pragmatisme tergantung pada akibatnya yaitu kepada kerjanya, didasarkan pada keberhasilan dari perbuatan yang disiapkan oleh pertimbangan tersebut. Apabila pertimbangan itu benar, maka akan bermanfaat bagi pelakunya.[22] Oleh karena itu dalam melakukan pertimbangan harus benar-benar terseleksi agar memperoleh manfaat yang diharapkan.

Antara agama dengan filsafat pragmatis diharapkan memberikan rasa ketenangan dan kedamaian. Akibatnya ketika James tertarik kepada ilmu pengetahuan dan agama ini dimaksudkan, bahwa ketika James mempelajari studi pengobatan dengan tendensi materialisme maka berusaha mengecek dengan emosi agama (perasaan agama).[23]

Oleh karena itu James dalam mempelajari agama atau kepercayaan memberikan tiga opsi yang menjadi pilihan, yaitu : pertama ; living or died. Kedua, forced or avoidable dan ketiga momentous or trivial.[24] Opsi yang ditawarkan ini mencoba memberikan sebuah makna kehidupan ini bahwa menjalankan atau mengerjakan sesuatu harus senantiasa memberikan rasa ketenangan. Kenyataan hidup harus dijalani dan dihadapi dengan gigih serta dapat mengambil manfaat terutama bagi dirinya. Karena manusia selamanya tidak akan hidup terus tetapi suatu saat akan menghadapi kematian.

b. John Dewey (1859-1952)

John Dewey lahir di Baltimor, ia salah satu dari generasi pragmatisme yang menghasilkan pemikiran yang hebat setelah James. Dewey menjadi guru besar dalam bidang filsafat dan bidang pendidikan di Chicago (1894-1904) dan akhirnya di Universitas Colombia (1904- 1929).[25]

Bagi John Dewey filsafat bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia serta lingkungannya atau untuk mengatur kehidupan manusia serta aktivitasnya dalam memenuhi kebutuhan manusiawi. Oleh karena itu tidak heran jika John Dewey disebut sebagai tokoh filsafat yang mempunyai karakter yang dinamis yang diwarisi oleh Hegel, yaitu faham dualisme yang berlebih-lebihan seperti antara between mind and body : between necessary and contingent propositions, between cause and effect, between secular and transcendent, namun Dewey lebih suka membuat pandangan baru dengan memperkaya teori-teori dan memahami sebuah fungsi teori itu, dengan demikian Dewey adalah seorang yang anti reduksionis.[26]

Meskipun Dewey seorang pragmatis, tetapi Dewey lebih suka menyebut sistemnya dengan istilah Instrumentalisme. Yang dimaksud Instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam. Cara yang dilakukan adalah dengan menyelidiki bagaimana pikiran fungsi dalam penentuan-penentuan yang berdasarkan pengalaman, mengenai konsekuensi - konsekuensi di masa depan. Salah satu kunci filsafat instrumentalia adalah pengalaman (experience). Filsafat harus berpijak pada pengalaman itu secara aktif dan kritis, agar filsafat dapat menyusun sistem norma-norma dan nilai-nilai.[27]

Filsafat Dewey yang dinamakan dengan Instrumentalisme ini memiliki tiga aspek sebagai alat dalam melahirkan penyelidikan. Di antaranya, pertama “temporalisme” yaitu terdapat gerak kemajuan nyata dalam waktu. Pemikiran kebenaran terus berjalan maju dengan melihat pengalaman yang terus berlangsung. Kedua “futuristic” yaitu mendorong untuk melihat masa depan tidak hari kemarin. Ketiga “milionarisme” bahwa kehidupan dunia ini dapat dibuat lebih baik dengan kemampuan diri manusia, barangkali pandangan yang demikian juga dianut oleh William James.[28]

Instrumentalisme yang dimaksud Dewey adalah ide besar sebagai alat dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang bersifat praktis. Dewey berusaha mengembangkan teori-teori baru tanpa melakukan reduksi dari tokoh-tokoh pragmatis sebelumnya. Ini dilakukan untuk memperoleh bentuk baru dalam kajian filsafat pragmatis.

Oleh karena itu ketika membahas masalah agama atau kepercayaan, Dewey mengakui bahwa semua agama termasuk kepercayaan merupakan sebuah doktrin kebenaran yang tersirat makna intelektual. Ini disebabkan bahwa kepercayaan merupakan pengakuan yang paling hakiki dan sebagai doktrin yang tidak dapat diubah.[29] Di samping itu pengalaman agama seseorang merupakan petunjuk yang diyakini setiap individu.

Meskipun kajian agama menjadi masalah ketika dihadapkan pada sistemnya yaitu instrumentalia, namun bukan menjadi hambatan dalam menghadapi problem ini. Bagaimanapun juga dasar yang digunakan oleh instrumentalia adalah pengalaman. Ini jelas bahwa Dewey mengakui pengalaman seseorang meski itu bersifat mistik atau tidak dapat dibuktikan dengan logika, yang penting akibat dari pengalaman itu dapat memberikan nilai manfaat baginya yaitu ketenangan dan kedamaian.

2. Pokok-Pokok Ajaran Filsafat Pragmatisme

Sesuatu yang penting dalam filsafat pragmatis dan menjadi pegangan adalah logika pengamatan. Oleh karena itu aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat praktis. Meskipun itu pengalaman-pengalaman yang bersifat pribadi, kebenaran mistis, semuanya dapat diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan, dengan syarat membawa akibat praktis yang bermanfaat. Atas dasar inilah maka patokan bagi pragmatisme adalah manfaat bagi hidup praktis.[30] Dasar-dasar yang digunakan dalam filsafat pragmatis adalah dengan menggunakan rumus sebagai berikut ; pertama menolak segala intelektualisme, kedua, absolutisme dan ketiga meremehkan logika formal.[31] Aliran pragmatis menolak intelektualisme, ini berarti juga menentang rasionalisme sebagai sebuah pretensi dan metode. Dengan demikian tidak mempunyai aturan-aturan dan doktrin-doktrin yang menerima metode. Seorang ahli pragmatis Italia bernama Papini mengatakan ; pragmatis adalah ketiadaan dalam teori pragmatis, ibarat seperti sebuah koridor dalam sebuah hotel.[32]

Dasar kedua adalah absolutisme. Pragmatisme tidak mengenal kebenaran yang bersifat mutlak, yang berlaku umum ataupun bersifat tetap bahkan yang berdiri sendiri pun tidak ada. Alasan ini disebabkan adanya pengalaman yang berjalan terus dan segala yang dianggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa akan berubah, karena di dalam prakteknya apa yang dianggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu tidak ada kebenaran yang mutlak, kecuali yang ada adalah kebenaran-kebenaran ( dalam bentuk jamak), artinya apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman yang khusus, yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya.[33]

Pokok ajaran yang terakhir adalah meremehkan logika formal. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa pegangan pragmatisme adalah logika pengamatan, hal ini dapat berupa pengalaman-pengalaman pribadi ataupun pengalaman mistis. Dengan demikian ini berarti bahwa pragmatisme dalam membuat suatu kesimpulan-kesimpulan tidak memiliki aturan-aturan yang tetap yang dapat dijadikan Standard atau ukuran dalam merumuskan suatu kesimpulan. Hukum kebenaran yang terus berjalan ini, maka nilai pertimbangannya adalah akal dan pemikirannya, sementara yang dijadikan sebagai tujuan adalah dalam perbuatannya atau aplikasinya. Proses yang terjadi pada akal dan pemikiran itu harus mampu menyesuaikan dengan kondisi dan situasinya. Sesungguhnya akal dan pemikiran itu menyesuaikan diri dengan tuntutan kehendak dan tuntutan perbuatan.[34]

B. Kredibilitas Aksiologi Terhadap Filsafat Pragmatisme

Kredibilitas aksiologi terhadap filsafat pragmatisme dalam sub bahasan ini adalah kebenaran dari filsafat pragmatisme yang bisa dinilai positif maupun negatifnya.

Sebagaimana yang telah diutarakan pada halaman sebelumnya bahwa, berbicara mengenai aksiologi berarti berbicara mengenai nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang telah dan akan diperoleh, apakah pengetahuan tersebut bernilai baik, buruk, manfaat, mudharat, tahan lama atau periodik dan sebagainya.

Setiap indifidu maupun kelompok memiliki idealism dan pandangan tersendiri dalam menilai sesuatu, dan tidak mustahil jika nilai yang di anggap benar bagi suatu kelompok bernilai salah bagi kelompok lainnya, namun pragmatisme tidak demikian sebab nilai susuatu tergantung dari manfaat praktis yang dihasilkan secara praktis.

Mungkin dengan alasan itulah sehingga dalam buku Epistemologi Pendidikan Islam oleh Mujamil Qomar menegaskan bahwa “Etika tidak diperhatikan dalam tradisi keilmuan barat, sehingga barat mampu mencapai kemajuan sains dan teknologi”.[35]

Berbeda dengan tradisi barat tersebut, tradisi keilmuan islam sejak dini memiliki perhatian besar pada etika. Pada prinsipnya etika diyakini memiliki peran yang besar dalam menuntun perkembangan pengetahuan dan respon masyarakat, sehingga pertimbangan-pertimbangan aksiologi selalu ditempatkan menyertai pertimbangan epistemology, agar disamping mampu mencapai kemajuan juga mampu mempertahankan keutuhan moralitas yang positif.
_______________________________________


BAB III 
PENUTUP


A. KESIMPULAN

Dari beberapa sub bahasan di atas maka dapat di simpulkan bahwa pragmatisme merupakan gerakan filsafat Amerika yang mulai terkenal selama satu abad terakhir. Filosuf yang terkenal sebagai tokoh filsafat pragmatisme adalah William James dan John Dewey.

Aliran filsafat ini merupakan suatu sikap, metode dan filsafat yang memakai akibat-akibat praktis dari pikiran dan kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai kebenaran.

Kebenaran dalam kacamata filsafat pragmatisme diasumsikan sebagai sesuatu dianggap benar jikalau sesuai dengan realita atau sesuatu tersebut memberikan manfaat dan dapat dikerjakan


B. SARAN

Dengan adanya makalah ini diharapkan bisa menjadi referensi mengenai filsafat pragmatism baik dari segi materil terlebih lagi objek forma. Fanatisme terhadap suatu aliran hendaknya tidak menjadikan kita untuk mengetahui pendapat aliran yang lain sebab sikap terhadap satu aliran akan menjadi bomerang bagi diri kita sendiri.

Penilaian terhadap pragmatisme bukan berarti mengkaburkan pemahaman makna praktis yang telah dipopulerkan oleh William James maupun John Dewey, tetapi karena rasa interest terhadap kajian ini, sekalipun penilaian sisi kelebihan dan kekurangan tersebut adalah masih sangat terbatas untuk didiskusikan, karena yang demikian itulah adalah bentuk kesempurnaan pemikiran yang dihasilkan manusia.

Demikian yang dapat kami sampaikan. Kritik dan saran kami harapkan dari semua pihak demi pembenahan makalah kami dan penulisan makalah berikutnya.
____________________________________________

DAFTAR PUSTAKA


Achmadi, Asmoro, Filsafat Umum, (Cet Ke-11, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2010)

A. Wiramihrdja, Sutardjo, Pengantar Filsafat “Sistematika Filsafat, Sejarah Filsafat, Logika dan Filsafat Ilmu (Epistemologi), Metafisika Dan Filsafat Manusia, Aksiologi”, Bandung: Refika Aditama, 2007

Bahtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2004

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia” Edisi. Ketiga” Balai Pustaka. 2000

Daud, Wan Mohd. Nor Wan. The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid Fahmi, et. All dengan judul Filsafat dan Praktik Pendidi-kan Islam Syed M. Naquib al-Attas. Cet. I; Bandung: Mizan, 2003.

Hakim Atang Abdul dan Saebani Ahmad Beni, Filsafat Umum dari Metodologi sampai Teofilosofi, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2008

Hadiwijono, Harun, Sari Filsafat Barat-2, Yogyakarta, Kanisius, 1980

Kattsoff, Louis O. Element of Philosophy diterjemahkan oleh Soejono Soemargono dengan judul Pengantar Filsafat. Cet. V; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992.

Mills, Steve. Credibility. We Build People: http://webuildpeople.ag.org/wbp_library/ 9507_credibility.cfm

Oesman, O. dan Alfian (Ed). Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara. Jakarta: Penerbit BP 7 Pusat, 1990.

Poedjawijatna, I. R, Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, (Jakarta, Rineka Cipta, 2005)

Qomar, Mujamil, Epistemologi Pendidikan Islam “Dari Metode Rasional hingga Metode Kritis”, Jakarta: Erlangga, 2005

Salam, Burhanuddin, Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997)

Sarwan HB, Filsafat Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994.

Titus, H. et.al. Dialihbahasakan oleh H.M. Rasjidi. Persoalan-persoalan Filsafat. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1984.
___________________________________

[1] Oesman dan Alfian. Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara. Jakarta: Penerbit BP 7 Pusat, 1990. h. 57
[2] Titus, H. et.al. Dialihbahasakan oleh H.M. Rasjidi. Persoalan-persoalan Filsafat. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1984. h. 353
[3] Wan Mohd. Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid Fahmi, et. alldengan judul Filsafat dan Praktik Pendidi-kan Islam Syed M. Naquib al-Attas (Cet. I; Bandung: Mizan, 2003), h. 317
[4] Kamus Besar Bahasa Indonesia “Edisi Ketiga” hal. 599
[5]Steve Mills. Credibility. We Build People: http://webuildpeople.ag.org/wbp_library/ 9507_credibility.cfm
[6] Kamus Besar Bahasa Indonesia “Edisi Ketiga”, Op. Cit., hal. 22
[7] Lihat. Burhanuddin Salam. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997)
[8] Louis O. Kattsoff, Element of Philosophy diterjemahkan oleh Soejono Soemargono dengan judul Pengantar Filsafat (Cet. V; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), h. 327.
[9]Sarwan HB, Filsafat Agama (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 22
[10] Kamus Besar Bahasa Indonesia “Edisi Ketiga”, Op. Cit., hal.317
[11] Amsal Bakhtiar. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. hal. 9
[12] Kamus Besar Bahasa Indonesia “Edisi Ketiga”, Op. Cit., hal. 891
[13] Hanafi, Filsafat Barat, Jogjakarta, Mudah, -, h. 84
[14]Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum dari Metodologi sampai Teofilosofi, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2008, h. 319
[15] lihat Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1990), 190. Harun Hadiwijono, Ibid, hlm. 131
[16] lihat Harun Hadiwijono, Sari Filsafat Barat-2, Yogyakarta, Kanisius, 1980, hlm. 131
[17] Lihat Betrand Russel, History Of Western Philosophy (tt, 1945), hlm. 766
[18] Lihat Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika (Bandung : Yayasan Piara, 1997), hlm 116
[19] Lihat Encyclopedia Britanica ( The University Of Chiago, 1952), vi
[20] Lihat Robert C.Solomon, Kathleen M. Higgins, A short History Of Philosophy ( New York : Oxford University Press, 1996), hlm 259
[21] Harun Hadiwijono, op.cit hlm. 132
[22] Juhaya S. Praja, op.cit hlm. 116
[23] Lihat Karl R. Popper, The Logic Of Scientific Discovery (London : Routladge, 1980), hlm. 137
[24] Lihat Daniel J. Bronstein dkk, Basic Problems Of Philosophy (America : The United States Of America, 1964), hal. 488
[25] Juhaya S. Praja, Op. Cit, hlm. 116
[26] Robert C. Salomon, A Short History philosophy, op.cit hlm. 262
[27] Harun Hadiwiyono, Op. Cit, hlm. 134
[28] Juhaya S. Praja, op.cit hlm 117
[29] Daniel J. Bronstein, Basic Problems Of Philosophy (America : The United States Of America, 1964), hlm. 496
[30] Juhaya S. Praja, op.cit hlm 115
[31] Lihat Harun Hadiwijono, op.cit hlm. 131
[32] William James, Pragmatism ( Amerika : New American Library, 19740), hlm 47
[33] Harun Hadiwijono, op.cit hlm. 132
[34] Harun Hadiwijono Ibid, hlm 132
[35] Mujamil Qomar. Epistemologi Pendidikan Islam “Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik” Jakarta: Erlangga. 2005. Hal. 161

0 komentar:

Post a Comment